Sabtu, 05 Januari 2013

TEORI KEYNES


Teori Keynesian, adalah suatu teori ekonomi yang didasarkan pada ide seorang ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keynes. Pandangan Keynes sering dianggap sebagai awal dari pemikiran ekonomi modern. Keynes banyak melakukan pembaharuan dan perumusan ulang doktrin-doktrin klasik dan neo-klasik. Kita semua sudah tahu bahwa, analisis klasik bertumpu pada masalah-masalah mikro. Aliran Klasik mengatakan Penawaran akan menciptakan permintaannya sendiri”  hal ini dikritik Keynes sebagai sesuatu yang keliru. Dalam kenyataannya, menurut Keynes permintaan lebih kecil dari penawaran. Alasannya, sebagian dari pendapatan yang diterima masyarakat akan ditabung, dan tidak semuanya dikonsumsi. Menurut Klasik  jumlah tabungan akan selalu sama dengan jumlah investasi, namun ini dibantah Keynes. Alasannya, motif orang untuk menabung tidak sama dengan motif pengusaha untuk menginvestasi. Pengusaha melakukan investasi didorong oleh keinginan untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya. Semantara itu, sektor rumah tangga melakukan penabungan didorong oleh berbagai motif yang sangat berbeda,  hal ini menyebabkan jumlah tabungan tidak akan pernah sama dengan jumlah investasi.

Keynes mengatakan bahwa permintaan akan uang untuk spekulasi saat ini tinggi apabila tingkat bunga saat ini rendah dan permintaan untuk spekulasi saat ini rendah apabila tingkat bunga untuk spekulasi mempunyai hubungan  yang berkebalikan dengan tingkat bunga (saat ini). Ini adalah inti teori moneter Keynes.
Menurut teori Keynesian asumsi dasar bahwa ekonomi bekerja penuh atau full employment, tingkat harga yang fleksibel dan informasi yang dimiliki secara sempurna adalah tidak benar dan bertentangan dengan realitas serta tidak akan tercapai dalam jangka pendek bahkan juga dalam jangka panjang. Menurut Keynes pasar tenaga kerja jauh dari seimbang, karena upah tidak pernah fleksibel, sehingga permitaan dan penawaran hampir tidak pernah seimbang sehingga penganguran sering terjadi.
Menurut Keynesian penganguran bisa terjadi disebabkan oleh tidak fleksibelnya harga-harga, termasuk harga tenaga kerja (upah) dan lambatnya reaksi rasional dari para pelaku ekonomi sehingga tidak terjadinya full employment. Tidak terjadinya full employment berarti akan menciptakan pengagguran.
Dalam teorinya, Keynes berpendapat tentang kebijakan makro. Kebijakan makro Keynes mengatakan bagaimana peran pemerintah dalam  mempengaruhi permintaan agregat (dengan demikian mempengaruhi situasi makro), agar mendekati posisi full employment-nya. Keynes menyarankan agar perekonomian tidak diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar. Hingga batas tertentu, peran pemerintah justru diperlukan Misalnya, jika terjadi pengangguran, pemerintah bisa memperbesar pengeluarannya untuk proyek-proyek padat karya. Dengan demikian, sebagian tenaga kerja yang menganggur bisa bekerja, yg akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dari deskripsi tersebut, memang alur pemikiran Keynes sangat logis dan bisa kita telusuri dengan mudah tanpa berumit- rumit. Dengan demikian kritik Keynes mengenai klasik dan neo-klasik memang masih masuk akal dalam ilmu ekonomis dan memenuhi aturan. Dalam hal ini, teori Keynes merupakan analisis model disequilibeium ekonomi.

SEKTOR PERTANIAN



Sektor Pertanian Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Tidak perlu di ragukan lagi bahwa Indonesia adalah negara dengan potensi agraris yang sempurna, memberikan ruang seluas-luasnya untuk memanfaatkan potensi pertanian tersebut. Ketergantungan kita pada pertanian sangat tinggi sebab hampir seluruh kegiatan perekonomian kita berpusat di sektor terbesar itu. Pengentasan kemiskinan dan juga pencapaian ketahanan pangan merupakan sasaran tujuan pembangunan maka tak pelak lagi bila pembangunan sektor pertanian merupakan satu cara pencapaian tujuan tersebut.
Permasalahan Seputar Pertanian Pembangunan sektor pertanian bukan suatu hal mudah. Ada banyak hal sesungguhnya yang menjadi permasalahan misalnya masih rendahnya pengetahuan petani atas akses informasi dan teknologi, permasalahan lemahnya akses modal, juga dapat berupa investasi yang dimiliki oleh petani yang kurang. Hal ini menjadi sangat kontras sementara pertanian mendominasi hampir setiap segi perekonomian, misalnya dalam penyerapan tenaga kerja.  Sebenarnya permasalahan tersebut diatas bukan temuan baru, masalah ini sudah sejak lama ada sejalan dengan keberadaan pertanian itu sendiri.  Terkait dengan hal tersebut sesungguhnya pemerintah telah meluncurkan berbagai program yang mendukung petani.misalnya dalam hal peningkatan produksi pangan dikembangkan lewat balai pengkajian dan penelitian pertanian tentang teknologi tepat guna dan pengembangan benih-benih unggulan berpotensi.
Keberhasilan pencapaian sasaran peningkatan pembangunan sektor pertanian tidak dapat di raih dengan kemauan di satu pihak saja misalnya dari pemerintah saja. Perlu kiranya ada kerjasama dengan berbagai kalangan yang berkecimpung langsung di bidang pertanian baik itu dari lembaga peneliti, ilmuan, inovator, kalangan akademic, maupun pihak swasta sebagai kalangan industri. Kerjasama yang harmonis, kolaborasi yang solid seluas-luasnya dapat memecahkan kebuntuan masalah pertanian yang dihadapi.  Kita masih ingat di era orde lama kita pernah berjaya dengan swasembada beras yang mendapat apresiasi luar biasa dari negara luar. Kita mampu keluar dari krisis pangan saat itu. Sayangnya kondisi itu tidak berlanjut. Kita tidak mampu mempertahankan kebanggaan dan prestasi tersebut.  Padahal bukankah bangsa yang jaya bermula dari kemandirian negara itu sendiri, kemandirian pangan dan kreatifitas rakyatnya, serta kolaborasi yang apik dari berbagai sektor. Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan alasan.,
1.      Indonesia merupakan negara berkembang yang masih relatif tertinggal dalam penguasaan Iptek muktahir serta masih menghadapi kendala keterbatasan modal, jelas belum memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) pada sektor ekonomi yang berbasis Iptek dan padat modal. Oleh karena itu pembangunan ekonomi Indonesia sudah selayaknya dititikberatkan pada pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis pada sumberdaya alam, padat tenaga kerja, dan berorientasi pada pasar domestik. Dalam hal ini, sektor pertanianlah yang paling memenuhi persyaratan.
2.      Menurut proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 228-248 juta jiwa pada tahun 2008-2015. Kondisi ini merupakan tantangan berat sekaligus potensi yang sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran produk (produksi) maupun dari sisi permintaan produk (pasar) khususnya yang terkait dengan kebutuhan pangan. Selain itu ketersedian sumber daya alam berupa lahan dengan kondisi agroklimat yang cukup potensial untuk dieksplorasi dan dikembangkan sebagai usaha pertanian produktif merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya.
3.      Walaupun kontribusi sektor pertanian bagi output nasional masih relatif kecil dibandingkan sektor lainnya yakni hanya sekitar 12,9 persen pada tahun 2006 namun sektor pertanian tetap merupakan salah satu sumber pertumbuhan output nasional yang penting. Berdasarkan data BPS, pada Bulan Februari 2007 tercatat sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, yakni sekitar 44 persen.
4.      Sektor pertanian memiliki karakteristik yang unik khususnya dalam hal ketahanan sektor ini terhadap guncangan struktural dari perekonomian makro. Hal ini ditunjukkan oleh fenomena dimana sektor ini tetap mampu tumbuh positif pada saat puncak krisis ekonomi sementara sektor ekonomi lainnya mengalami kontraksi. Saat kondisi parah dimana terjadi resesi dengan pertumbuhan PDB negatif sepanjang triwulan pertama 1998 sampai triwulan pertama 1999, nampak bahwa sektor pertanian tetap bisa tumbuh dimana pada triwulan 1 dan triwulan 3 tahun 1998 pertumbuhan sektor pertanian masing-masing 11,2 persen, sedangkan pada triwulan 1 tahun 1999 tumbuh 17,5 persen. Adapun umumnya sektor nonpertanian pada periode krisis ekonomi yang parah tersebut pertumbuhannya adalah negatif.

Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional tersebut sudah seharusnya kebijakan-kebijakan negara berupa kebijakan fiskal, kebijakan moneter, serta kebijakan perdagangan tidak mengabaikan potensi sektor pertanian. Bahkan dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pentingnya sektor pertanian dengan menempatkan revitalisasi pertanian sebagai satu dari strategi tiga jalur (triple track strategy) untuk memulihkan dan membangun kembali ekonomi Indonesia. Salah satu tantangan utama dalam menggerakan kinerja dan memanfaatkan sektor pertanian ini adalah modal atau investasi. Pengembangan investasi di sektor pertanian diperlukan untuk dapat memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani, serta pengembangan wilayah khususnya wilayah perdesaan.
Sejumlah sektor pertanian Indonesia belum menunjukkan fakta menggembirakan. Sebagian besar penduduk miskin tinggal di wilayah pedesaan umumnya sebagai petani. Kebijakan impor beras premium yang terus dilakukan, padahal Indonesia punya beras berkualitas sama seperti beras Cianjur dan IR-64.
Selain itu produktivitas pekerja pertanian lebih rendah daripada pekerja industri. Pertanyaan besar bagaimana negeri agararis sebesar Indonesia yang penduduknya gemar makan tempe, ternyata tidak mampu menahan gejolak harga kedelai internasional?
Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional mengingat 63,3 persen penduduk miskin tinggal di perdesaan yang sebagian besar mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian. Di sisi lain, masih beragamnya pengertian dan batasan tentang kemiskinan, definisi dan metode pendekatan serta ukuran dalam memahami kemiskinan akan berdampak sangat luas terhadap strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Peran Dalam Ekonomi Seiring dengan transisi (transformasi) struktural ini sekarang kita menghadapi berbagai permasalahan. Di sektor pertanian kita mengalami permasalahan dalam meningkatkan jumlah produksi pangan, terutama di wilayah tradisional pertanian di Jawa dan luar Jawa. Hal ini karena semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai untuk bertani. Perkembangan penduduk yang semakin besar membuat kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan berbagai sarana pendukung kehidupan masyarakat juga bertambah. Perkembangan industri juga membuat pertanian beririgasi teknis semakin berkurang. Selain berkurangya lahan beririgasi teknis, tingkat produktivitas pertanian per hektare juga relatif stagnan. Salah satu penyebab dari produktivitas ini adalah karena pasokan air yang mengairi lahan pertanian juga berkurang. Banyak waduk dan embung serta saluran irigasi yang ada perlu diperbaiki. Hutan-hutan tropis yang kita miliki juga semakin berkurang, ditambah lagi dengan siklus cuaca El Nino-La Nina karena pengaruh pemanasan global semakin mengurangi pasokan air yang dialirkan dari pegunungan ke lahan pertanian. Sesuai dengan permasalahan aktual yang kita hadapi masa kini, kita akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri. Di kemudian hari kita mungkin saja akan semakin bergantung dengan impor pangan dari luar negeri. Impor memang dapat menjadi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, terutama karena semakin murahnya produk pertanian, seperti beras yang diproduksi oleh Vietnam dan Thailand. Namun, kita juga perlu mencermati bagaimana arah ke depan struktur perekonomian Indonesia, dan bagaimana struktur tenaga kerja yang akan terbentuk berdasarkan arah masa depan struktur perekonomian Indonesia. Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen. Sedangkan pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling tinggi. Data ini juga menunjukkan peran penting dari sektor pertanian sebagai sektor tempat mayoritas tenaga kerja Indonesia memperoleh penghasilan untuk hidup. Sesuai dengan permasalahan di sektor pertanian yang sudah disampaikan di atas, maka kita mempunyai dua strategi yang dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia di masa depan. Strategi pertama adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor pertanian, dan pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia.
Keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang insentifnya lebih menarik
Strategi kedua adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia. Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan. Sarana pendukung seperti jalan, pelabuhan, listrik adalah sarana utama yang dapat mengakselerasi pertumbuhan di sektor ini.
Struktur perekonomian Indonesia sekarang adalah refleksi dari arah perekonomian yang dilakukan di masa lalu. Era orde baru dan era reformasi juga telah menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor penting yang membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia.
Saat ini kita mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kebijakan yang dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia di masa depan. Namun, beberapa permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di masa ini perlu segera dibenahi, sehingga kita dapat meneruskan hasil dari kebijakan perekonomian Indonesia yang sudah dibangun puluhan tahun lalu, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sampai saat sekarang ini. Indonesia disebut Negara agraris atau pertanian karena peran pertanian masih dominan dalam hal. PDB (Produk Domestik Bruto Penyerapan tenaga kerja
Nilai ekspor. Sesudah melewati 5 kali Pelita (25 tahun) diharapkan Indonesia menjadi negara industri, tetapi akibat krisis ekonomi Juni 1997, harapan tersebut jadi buyar. Bahkan sektor pertanian sebagai salah satu penyelamat dalam perekonomian di Indonesia. Dari ke empat sektor produksi yaitu Pertanian, Perindustrian, Pertambangan dan Perdagangan (jasa), yang jumlahnya 100% pada setiap tahun, maka peran sektor pertanian dalam PDB pada tahun 1939 adalah 61%, sedangkan peran atau kontribusi ke tiga sektor lainnya hanya 39%. Dapat dilihat bahwa peran sektor pertanian dalam PDB makin lama makin menurun. Pada tahun 1975 hanya 32% dan pada tahun 1990 tinggal 19,6% .
Peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja juga makin menurun dari tahun ke tahun, tetapi tidak secepat menurunnya seperti peran dalam PDB. Pada Tahun 1939 peran pertanian dalam penyerapan tenaga kerja adalah 73,9% dan pada tahun 1990 masih ada sebesar 53,4%.
Peran sektor pertanian dalam ekspor sama halnya dengan perannya dalam PDB. Dalam ekspor pada tahun 1928 mencapai 79%, namun peran ini cepat menurun setelah masa kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1974 peran pertanian dalam ekspor adalah 23%. Perhatikan, bahwa di tahun 1986 peran pertanian dalam PDB hanya 25% dan dalam tenaga kerja masih tinggi yakni 55%. Jumlah kue yang dibagi sudah sedikit, yang ikut membagi masih banyak, karena itu timbullah kemiskinan rakyat di sektor pertanian. Pada saat itu ada nilai ekspor pertanian sekian persen, tetapi ini tidak akan dinikmati oleh rakyat di sektor pertanian. Ini berdampak timbulnya gap yang besar antar sektor ekonomi. Pada era sebelum kemerdekaan peran sektor pertanian dalam PDB, tenaga kerja dan nilai ekspor adalah masih berimbang. Sebagai contohnya pada tahun 1939 kontribusi pertanian adalah sebagai berikut:
• Sumbangan dalam PDB = 61%.
• Penyerapan tenaga kerja = 74%.
• Nilai ekspor hasil pertanian = 79%.
Pada era Orde Baru, power sektor pertanian Republik Indonesia sudah lemah misalnya
pada tahun 1985 kontribusi pertanian dapat digambarkan sebagai berikut:
• Sumbangan dalam PDB = 24%.
• Penyerapan tenaga kerja = 55%.
• Nilai ekspor hasil pertanian = 23%.
Penyebab utama merosotnya kontribusi sektor pertanian karena policy dari pemerintah terlalu tergila-gila ke sektor manufacturing, bukan ke agroindustri. Pabrik kapal terbang dan manufacturing lainnya memakai investasi yang sangat tinggi, bukan mendorong kemajuan pertanian, bahkan hasil dari pertanianlah dikorbankan kesana. Menurunnya peran atau kontribusi sektor pertanian dalam PDB atau dalam nilai ekspor bukan berarti jumlah PDB sektor pertanian atau jumlah nilai ekspor pertanian menurun. Peran sektor pertanian dari tahun 1980 ke tahun 1990 turun (25% - 20%) = 5%, pada hal jumlah PDB sektor Pertanian naik dari Rp.100 juta pada tahun 1980 menjadi Rp.200 juta pada tahun 1990 (naik 100%). PDB yang disumbangkan oleh subsektor tanaman per-kebunan rakyat jauh lebih besar daripada PDB tanaman perkebunan besar. Pada setiap tahun PDB dari tanaman perkenunan rakyat tiga kali lipat lebih besar daripada PDB tanaman perkebunan besar. Hal ini selalu terdapat kekeliruan pada masyarakat/mahasiswa, bahwa persepsi mereka hasil tanaman perkebunan besar lebih hebat daripada hasil tanaman perkebunan besar. Sekali lagi dapat dilihat bahwa peran Perkebunan Rakyat di Indonesia tiga kali lipat lebih besar daripada peran Perkebunan Besar pada periode tahun 1990-1992. Peran sektor pertanian dalam PDB makin lama makin menurun, pada tahun 1990 perannya masih sebesar 21,86%, tetapi pada tahun 2004 tinggal 15,38%. Menurunnya peran sektor pertanian dalam PDB bukan berarti nilai PDB sektor pertanian juga turun. Atas dasar harga berlaku, jumlah PDB sektor pertanian pada tahun 1990 adalah Rp.50.032 milyar, pada tahun 2004 adalah Rp.354.435 milyar. Menurunnya peran sektor pertanian disebabkan begitu naiknya PDB sektor-sektor lain, terutama sektor industri dan sektor perdagangan/jasa.

Sumber



Senin, 24 Desember 2012

TEORI OKONOMI MONETER

Ekonomi Moneter merupakan salah satu instrumen penting dalam perekonomian modern, dalam perekonomian modern terdapat dua kebijakan perekonomian yang dijadikan instrumen oleh pemerintah dalam menstabilkan perekonomian suatu negara, yang pertama adalah kebijakan Fiskal, yaitu kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya dalam merealisasi tujuan-tujuan ekonomi. Yang kedua adalah kebijakan moneter. Kebijakan moneter adalah langkah pemerintah untuk mengatur penawaran uang dan tingkat bunga. Pada tulisan ini saya sebagai penulis, akan mencoba menyajikan konsep-konsep dasar ekonomi moneter konvensional dan ekonomi moneter islam.
Ekonomi juga salah satu instrument penting dalam perekonomian modern, dalam perekonomian modern terdapat dua kebijakan yaitu :
a) Kebijakan Fiskal yaitu kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk membelanjakan pendapatan Negara untuk tujuan-tujuan ekonomi.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

b) Kebijakan Moneter yaitu suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian atau langkah pemerintah untuk mengatur penawaran uang dan tingkat bunga. Kebijakan moneter terbagi dua yaitu :
v  Kebijakan Moneter Ekspansif yaitu suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar disuatu Negara, apabila tidak ada kebijakan ini maka jumlah uang di suatu negara akan menipis sehingga transaksi atau jual beli disuatu negara akan terganggu.
v  Kebijakan Moneter Kontraktif yaitu suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policu).

Tujuan Ekonomi Moneter

Adapun tujuan ekonomi moneter adalah untuk mencapai stablisasi ekonomi yang dapat diukur dengan :
v  Kesempatan kerja.
Dengan adanya kesempatan kerja atau lowongan pekerjaan maka makin besar dalam meningkatkan produksi, selain dapat meningkatkan produksi maka dapat juga membantu masyarakat yang menjadi pengangguran.
v  Kestabilan harga
Harga yang makin kian tinggi membuat masyarakat menjadi resah, tiap tahunnya harga barang bukannya menjadi turun tetapi semakin naik, untuk mencegah harga yang semakin naik maka pemerintah menstabilkan harga sehingga harga tidak mengalami kenaikkan setiap tahunnya.
v  Neraca pembayaran internasional
Neraca pembayaran internasional yang seimbang menunjukkan stabilisasi ekonomi di suatu Negara. Agar neraca pembayaran internasional seimbang, maka pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan moneter.


Konsep Ekonomi Moneter Konvensional
Ekonomi Moneter merupakan suatu cabang ilmu ekonomi yang membahas tentang peranan uang dalam mempengaruhi tingkat harga-harga dan tingkat kegiatan ekonomi dalam suatu negara. Dalam pandangan ekonomi konvensional maka tujuan memegang uang terdiri dari tiga keinginan, yaitu :
a) Tujuan transaksi
Dalam rangka membayar pembelian-pembelian yang akan mereka lakukan
b) Tujuan Berjaga-jaga
Sebagai alat untuk menghadapi kesusahan yang mungkin timbul di masa yang akan datang
c) Tujuan Spekulasi
Dalam masyarakat yang menganunt sistem ekonomi konvensional ini, maka fungsi uang yang tak kalah pentingnya adalah untuk spekulasi, dimana pelaku ekonomi dengan cermat mengamati tingkat bunga yang berlaku saat itu, jika menguntungkan bila dibandingkan investasi, maka masyarakat cendrung mendepositokan saja uang, dengan harapan mendapat imbalan bunga.Selanjutnya  terkait dengan konsep ekonomi Moneter Konvensional maka tidak bisa dipisahkan dengan Kebijakan Moneter.

Kebijakan Moneter adalah Kebijakan pemerintah dalam mengatur penawaran uang dan tingkat bunga yang dilaksanakan oleh Bank sentral. Bentuk Kebijakan Moneter ini terdiri dari Kebijakan Moneter Kuantitatif dan Kebijakan Moneter Kualitatif.
Kebijakan Moneter Kuantitatif
adalah merupakan suatu kebijakan umum yang bertujuan untuk mempengaruhi jumlah penawaran uang dan tingkat bunga dalam perekonomian. terdiri dari:
a) Operasi pasar terbuka
Pada masa inflasi maka Bang Sentral akan mengadakan operasi pasar terbuka dengan melempar surat-surat berharga ke Bank umum, sehingga kelebihan uang di Bank Umum tidak menyebabkan inflasi, dan sebaliknya pada masa deflasi
b) Mengubah Tingkat Bunga dan Tingkat
DiscontoTingkat bunga dan tingkat disconto merupakan instrumen pemerintah dalam stabilisasi moneter, ketika inflasi maka pemerintah melalui bank sentral dapat melakukan kebijakan menaikkan suku bungga sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat akan berkurang, dan kestabilan moneter akan tercapai, dan begitu pula sebaliknya pada masa deflasi.
c) Mengubah Tingkat Cadangan Minimum
Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengubah cadangan minimun bank-bank umum ketika inflasi maka pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan cadangan minimum yang harus dimiliki oleh bank umum, dengan demikian jumlah uang yang beredar di masyarakat akan berkurang, dan sebaliknya pada masa deflasi.
Kebijakan Moneter kualitatif
a) Pengawasan pinjaman secara selektif
Melalui kebijakan ini maka pmerintah melalui bank sentral mengendalikan dan mengawasi peminjaman dan investasi-investasi yang dilakukan oleh bank-bank umum.

b) Pembujukan Moral
Bank sentral melakukan pertemuan dengan bank-bank umum, malalui forum ini maka bank sentral menjelaskan kebijakan-kebijakan yang sedang dijalankan pemerintah dan bantuan-bantuan apa yang diinginkan oleh bank sentral dari bank-bank umum untuk mensukseskan kebijakan tersebut.Pemikiran Ekonomi Moneter IslamiDari terminologi ekonomi konvensional, pembahasan ekonomi Moneter islami ini kelompok

c) mengambil asumsi
bahwa berbicara tentang ekonomi moneter terkait tentang dua hal :
1)     Tentang uang dan aspek yang terpengaruh olehnya dan
2)     Tentang tingkat bunga dan semua aspeknya.
Konsep Ekonomi Moneter Syariah
Kebijakan moneter sebenarnya bukan hanya mengutamakan suku bunga. Bahkan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa mengunakan instrumen bunga sama sekali.
Perekonomian Jazirah Arabia ketika itu adalah perekonomian dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam; Minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas.
Lalu lintas perdagangan antara Romawi dan India yang melalui Arab dikenal sebagai Jalur Dagang Selatan. Sedangkan antara Romawi dan Persia disebut Jalur Dagang Utara. Sedangkan antara Syam dan Yaman disebut Jalur Dagang Utara-Selatan.
Perekonomian Arab di zaman Rasulullah SAW, bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab.
Dinar dan Dirham juga dijadikan alat pembayaran resmi. Sistem devisa bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikit pun untuk mengimpor dinar dan dirham.
Transaksi tidak tunai diterima luas dikalangan pedagang. Cek dan promissory notes lazim digunakan. Misalnya Umar Ibnu-Khaththab ra. Beliau menggunakan instrumen ini untuk mempercepat distribusi barang-barang yang baru diimpor dari Mesir ke Madinah.
Instrumen factoring (anjak piutang) yang baru populer tahun 1980-an, telah dikenal pula pada masa itu dengan nama al-hiwalah, tapi tentunya bebas dari unsur bunga.
Apabila para pedagang mengekspor barang, berarti dinar/dirham diimpor. Sebalikanya, bila mereka mengimpor barang. Berarti dinar/dirham diekspor. Jadi dapat dikatakan bahwa keseimbangan supply dan demand di pasar uang adalah derived market dari keseimbangan aggregate supply dan aggregate demand di pasar barang dan jasa.
Nilai emas dan perak yang terkandung di dalam dinar dan dirham, sama dengan nilai nominalnya. Sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis sempurna terhadap tingkat pendapatan. Tidak ada larangan impor dirham dan dinar berarti penawaran uang elastis.
Sistem moneter mengunakan bimetallic standar, dengan emas dan perak (dalam bentuk uang dirham dan dinar) sebagai alat pembayaran yang syah. Nilai tukar emas dan perak pada masa ini relatif stabil dengan nilai kurs dinar – dirham 1 : 10. Permintaan akan uang dilandasi hanya oleh dua motif, yaitu untuk transaksi dan berjaga-jaga. Modelnya sebagai berikut :Md = Mdtr + Md pr ; apabila Md pr maka Mdtr. Mata uang dimpor, dinar dari romawi, dirham dari parsia dan disesuaikan dengan volume ekspor dan impor. Nilai emas dan perak pada kepingan dinar dan atau dirham sama dengan nilai nominal (face value) uangnya. Penawaran uang terhadap pendapatan sangat elastis. Tinggi rendahnya permintaan uang bergantung kepada frekuensi transaksi perdagangan dan jasa. Permintaan uang untuk transaksi dan berjaga-jagaKanz (larangan menimbun uang). Deamnd money, elastis, karena tidak adanya hambatan terhadap impor ketika demand meningkat.

KESIMPULAN
Ekonomi Moneter merupakan suatu cabang ilmu ekonomi yang membahas tentang peranan uang dalam mempengaruhi tingkat harga-harga dan tingkat kegiatan ekonomi dalam suatu negara. Dalam pandangan ekonomi konvensional maka tujuan memegang uang terdiri dari tiga keinginan, yaitu : Tujuan transaksi, Tujuan Berjaga-jaga,Tujuan Spekulasi. Sedangkan dalam pandangan ekonomi Islam  maka tujuan memegang uang terdiri dari dua keinginan, yaitu : Tujuan transaksi, Tujuan Berjaga-jaga. Dalam pandangan kebijakan moneter syariah, kebijakan moneter sebenarnya bukan hanya mengutamakan suku bunga. Bahkan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa mengunakan instrumen bunga sama sekali. Sedangkan dalam pandangan kebijakan moneter konvensional bunga (interest) ini menjadi hal yang sangat dominan bisa dilihat dari fungsi uang dalam kebijakan ekonomi moneter salah satunya adalah tujuan spekulasi. Bentuk Kebijakan Moneter terdiri dari Kebijakan Moneter Kuantitatif dan Kebijakan Moneter Kualitatif.
Sumber :
http://bab-i-konsep-dasar-ekonomi-moneter/
mujahidinimeis.wordpress.com

Minggu, 23 Desember 2012

GLOBALISASI EKONOMI DAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA


GLOBALISASI EKONOMI DAN  PEREKONOMIAN INDONESIA

Perekonomian dunia mengalami perubahan sejak dasarwarsa tujuh puluh hingga tahun 2000 an  yang bersifat mendasar atau struktural serta mempunyai kecenderungan jangka panjang dan konjungtural.  Perubahan dan perkembangan ini dikenal orang dengan istilah  globalisasi.
            Gejala globalisasi  terjadi pada kegiatan finansial, produksi, investasi perdagangan yang kelak berpengaruh pada hubungan antar bangsa dan hubungan antar individu dalam segala aspek kehidupan. Hubungan antar bangsa menjadi lebih saling tergantung  yang bahkan menjadikan ekonomi dunia menjadi satu sehinga seolah-olah batas antar negara dalam kegiatan perdagangan, bisnis tidak ada lagi. (borderless world)
            Pada umumnya negara di dunia menghadapi perkembangan tersebut dengan melakukan langkah penyesuaian baik dalam wilayah regional maupun masing individu negara yang kecenderungannya mengarah kepada proteksionisme. Hal terlihat jelas dengan munculnya blok blok perdagangan yang pada intinya justru melanggar  kesepakatan yang dituangkan dalam WTO.
            Globalisasi ekonomi ditandai dengan makin menipisnya  batas-batas investasi  atau pasar secara nasional, regional ataupun internasional. Hal ini disebabkan oleh : (Halwani, 2005 : 194)
  1. Komunikasi dan tranportasi yang semakin canggih,
  2. Lalu lintas devisa yang makin bebas,
  3. Ekononomi negara yang makin terbuka,
  4. Penggunaan secara keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara,
  5. Metode produksi dan perakitan dengan organisasi yang makin efisien,
  6. Semakin pesatnya perkembangan  perusahaan multinasional (MNC) di hampir segala penjuru dunia.
Steiner (1997) menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang mendorong terjadinya perubahan global. Pertama, produk nasional kotor (GNP) tumbuh dan meningkat dengan cepat, terutama di negara-negara maju. Kedua, revolusi dalam teknologi komunikasi. Ketiga, kekuatan-kekuatan yang mempermudah  munculnya perusahaan besar berskala  global.

11.1 KEBIJAKAN PERDAGANGAN, PELUANG TANTANGAN DUNIA BISNIS DAN PERAN PEMERINTAH DALAM ERA GLOBALISASI EKONOMI

1.   Kebijakan Perdagangan.
Kebijakan perdangan dalam periode memasuki era lepas landas diarahkan pada penciptaan dan pemantapan kerangka landasan perdagangan  yaitu dengan meningkatkan efisiensi perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri dengan tujuan untuk memperlancar  arus barang dan jasa, mendorong pembentukan harga yang layak dalam iklim persaingan yang sehat, menunjang usaha peningkatan  efisiensi produksi, mengembangkan ekspor, memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja, meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat serta  memantapkan stabilitas ekonomi.
            Kerangka landasan yang ingin dicapai tersebut meliputi unsur sebagai berikut :
·         Penciptaan struktur  ekspor non migas yang kuat dan tangguh  dengan cara melakukan diversifikasi produk maupun pasar serta pelakunya,
·         Penciptaan sistem distribusi nasional yang efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan daya saing  produk ekspor, mempertahan tingkat harga yang stabil dalam negeri,
·         Peningkatan daya saing usaha pelaku dalam kegiatan ekonomi perdangan  baik dalam negeri maupun ekspor dengan memupuk kebersamaan  yang kokoh dalam menghadapi pasar dunia yang makin ketat,
·         Tranpanransi pasar dan pengelolaan kegiatan perdagangan dengan membangun sistem jaringan perdagangan.
·         Meningkatkan peran lembaga penunjang perdagangan seperti badan pelaksana bursa komoditi, pasar lelang, BPEN , dll,

2. Peluang Dan Tantangan bagi Dunia Bisnis
            Terbukanya pasar dunia akibat globalisasi ekonomi membuka peluang bisnis antara lain :
·      Tersebarnya pasar yang lebih luas skalanya  dan terdiversifikasinya barang manufaktur dan produk yang mempunyai nilai tambah tinggi (value added products).
·      Terjadi relokasi  industri manufaktur dari negara industri  maju ke negara-negara sedang berkembang  dengan upah buruh yang lebih murah. Sebagai konsekuensi logis dari relokasi industri tersebut, siklus proses  bahan baku menjadi  produk akhir  menjadi lebih pendek. Hal ini akan menurunkan harga  per unit serta meningkatkan volume perdagangan.
·      Tersedianya sumber pendanaan yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih murah (bunga) karena makin beragamnya portofolio pendanaan terutama bagi negara yang sedang tumbuh perekonomiannya.

Selain memberikan peluang yang terbuka lebar bagi dunia bisnis , globalisasi ekonomi juga memberikan dampak negatif bagi dunia bisnis, antara lain :
·      Terjadinya tranfer pricing untuk memarkir dana maupun keuntungan di negara yang menganut tax shelter (memberikan perlindungan terhadap pesembunyian kewajiban membayar pajak).
·      Relokasi industri karena footlose industry  membawa pula teknologi kadaluwarsa ke negara sedang berkembang (host country), hal ini terjadi di negara asalnya (home country) teknologi yang dipakai industri tersebut ketinggalan jaman.
·      Masuknya FDI (foreign direct investment) dengan  teknologi canggih, seringkali tidak diimbangi dengan  tersedianya sumberdaya manusia yang siap mengoperasikannya sehingga membuat ketergantungan pada negara asal investasi tersebut.
·      Masuknya FDI juga seringkali menimbulkan trade off politis, yang merugikan masyarakat dan pelaku bisnis di dalam negeri.

3.  Peran Negara Bangsa Dalam Era Global
            Robert Gil;pin , salah satu tokoh realis menyatakan, peran negara bangsa (nation state)  dalam era globalisasi sekarang ini masih sangat diperlukan (signifikan). Gilpin pada awalnya menggugat beberapa keyakinan yang dianut pendukung globalisasi dan pasar bebas . Menurut Gilpin banyak peneliti mempunyai keyakinan bahwa tengah terjadi pergeseran besar dari ekonomi state dominated ke arh ekonomi market dominated. Hancurnya Uni Soviet, kegagalan strategi subtitusi impor  negara dunia ketiga, dan suksesnya AS pada era 1990 an telah mendoring penerimaan unrestricted market sebagai solusi bagi penyakit ekonomi modern. Karena peran negara  menjadi berkurang sebagai gantinya pasar akan menjadi mekanisme  penting baik untuk perekonomian domestik maupun perekonomian internasional. Menurutnya peran negara bangsa diyakini akan menjadi pembuka kearah ekonomi global yang sesungguhnya , yang dicirikan oleh tiadanya hambatan dalam perdagangan , aliran uang dalam skala global dan kegiatan internasional perusahaan multinasional (Gilpin, dalam Winarno, 2005)
            Namun fakta regionalisme ekonomi diberbagai belahan dunia membuktikan bahwa peran negara bangsa masih relevan. Regionalisme ini menunjukkan respon penting dari negara bangsa dalam menyelesaikan  secara bersama-sama masalah politik dan interdependensi yang tinggi dari ekonomi global yang hypercompetitive.Dibanding regionalisme pada tahun 1950 an dan 1960 an , bentuk reginalisme baru ini lebih signifikan dalam ekonomi global. Kadangkala regionalisme ekonomi ini mewakili  kepentingan individual negara bangsa baik untuk kepentingan mereka di level nasional maupun kolektif.
            Karena ekonomi global  semakin terintegrasi, pengelompokan  regional  negara bangsa telah meningkatkan kerjasama dalam rangka memperkokoh otonomi, memperbaiki posisi tawar, dan memperjuangkan kepentingan ekonomi politik lainnnya. Dimasa sekarang ini peran negara bangsa justru dibutuhkan demi berlakunya perdagangan bebas seperti harapan neoliberal . Hambatan-hambatan perdagangan tidak mungkin dihilangkan tanpa adanya dukungan kebijakan yang pada gilirannya  makin menunjukkan peran negara bangsa makin diperlukan dalam perekonomian global.

11.2  LEMBAGA YANG BERPERAN DALAM GLOBALISASI EKONOMI
Terdapat tiga lembaga utama yang mengatur globalisasi yaitu IMF, World Bank dan WTO.
1.    International Monetary Fund (IMF)
Salah satu lembaga yang sangat berpengaruh terhadap penciptaan sistem ekonomi pasar bebas dunia sesuai agenda Neoliberalisme, yaitu IMF. Cikal bakal munculnya lembaga super tersebut sewaktu diadakan pertemuan di Bretton Woods , New Hampshire AS Juli 1944. Di bidang moneter dibentuklah International Monetary Fund (IMF) dengan tugas utama mengatur system keuangan dan sistem nilai tukar  internasional.
Ide  terbentuknya IMF terdiri atas ;
·               Untuk meningkatkan jumlah cadangan negara yang memungkinkan negara tersebut mengatasi depresi tanpa melakukan kebijakan deflasi, devaluasi, dan pembatasan import. Baik devaluasi maupun pembatasan impor akan menimbulkan lingkaran setan yang akan membantu suatu negara yang bersifat sementara namun memperburuk perekomian dalam jangka panjang.
·               Untuk memperbaiki posisi ketidakseimbangan neraca pembayaran. Ide Keynes adalah untuk menciptakan mekanisme internasional dengan memberikan  cara yang baik untuk memperbaiki ketidakseimbangan neraca pembayaran.
·               Hasil penelitian menunjukkan upaya negara dalam menanggulangi ketidakseimbang neraca pembayaran adalah melakukan devaluasi.
·               Keynes melemparkan ide untuk mendirikan bank sentral yang memberikan kredit skala dunia.
Maka sebagai reliasasi ide tersebut  IMF didirikan tahun 1944 pada konferensi internasional yang berlangsung di Bretton Wood Amerika Serikat dan mulai beroperasi 1 Maret 1947. IMF didirikan sebagai pemberi pinjaman terakhir (Lender of Last Resort) untuk pemerintah di berbagai penjuru dunia. IMF beroprasi atas dasar kontribusi 182 negara anggota. AS merupakan kontributor  terbesar sekitar 18 % dari keseluruhan.
Peran IMF sebagai lembaga yang mengatur ekonomi global ditentukan oleh tiga asumsi sebagai  berikut :
1.    IMF merupakan alat intervensi Departemen Keuangan AS terhadap negara berkembang.
2.    Banyak lembaga keuangan dunia yang ingin berhubungan dengan IMF yang menjanjikan dana darurat sebagai imbalan menjalankan kebijakan ekonomi yang dinilai baik.
3.    Citra yang diciptakan seputar kekuatan  institusional IMF yang seolah tidak pernah salah. Negara  pengutang yang berbeda pandangan dengan IMF akan dinilai dunia internasional sebagai pembangkang.

IMF dituntut untuk dapat mencegah depresi global lainnya. Yang dapat dilakukan dengan melakukan tekanan internasional pada negara yang tidak melalukan peran mereka untuk memelihara permintaan agregat secara global, dengan membiarkan perekonomian  mereka sendiri jatuh. IMF didirikan dengan keyakinan bahwa perlu ada tindakan kolektif pada tingkat global  agar tercipta  stabilitas ekonomi.
            Perubahan peran  yang dramatis dalam IMF terjadi ketika tahun 1980-an, di era  ketika Ronald Reagan dan Margareth Thatcher menyuarakan  ideologi pasar bebas di AS dan Inggris. IMF dan Bank Dunia menjadi lembaga –lembaga misionaris baru, yang dengannya ide-ide tersebut dipaksakan pada negara-negara miskin yang sering membutuhkan pinjaman dan bantuan mereka.
            Setengah abad setelah pendiriannya, terbukti bahwa IMF gagal dalam menjalankan misinya. IMF belum melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Diperkirakan hampir seratus negara mengalami krisis, lebih buruk lagi kebanyakan kebijakan yang didorong oleh IMF, khususnya leberalisasi pasar modal yang premature memberikan andil dalam memunculkan ketidakstabilan global. (Stiglitz, 2002:19)

2. World Bank
Lembaga lain yang sangat berpengaruh terhadap penciptaan sistem ekonomi pasar bebas dunia sesuai agenda Neoliberalisme, yaitu  World Bank. Cikal bakal munculnya lembaga super tersebut sewaktu diadakan pertemuan di Bretton Woods, New Hampshire AS Juli 1944. Dari pertemuan tersebut dibentuklah sebuah lembaga yang khusus menangani masalah dalam pembangunan ekonomi, yakni IBRD (International Bank  for Reconstruction and Development) yang kemudian lebih dikenal sebagai World Bank.
Mulanya tujuan didirikan IBRD  adalah untuk membiayai pembangunan kembali ekonomi Eropa setelah Perang Dunia II, fungsi tersebut kemudian berkembang menjadi lebih luas, tidak lagi terbatas pada upaya rekonstruksi akibat perang, tetapi juga pembiayaan rehabilitasi akibat bencana alam, pendidikan, kesehatan, infrastruktur serta rehabilitasi  ekonomi setelah masa konflik antar negara. Saat ini upaya Bank Dunia ini fokus pada pengentasan kemiskinan global, terutama dalam rangka mencapai tujuan  Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015.

3. General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)
            GATT merupakan salah satu intrumen dimana sistem ekonomi dunia yang bersandar pada pasar bebas hendak dilakukan.  Melalui GATT yang kemudian menjadi WTO, secara sistematis dan intensif agenda negara-negara maju yang didominasi gagasan neoliberal mendesakkan agenda leberalisasi dan perdagangan bebas.
            GATT ini bertolak dari pemikiran keunggulan komparatifnya David Ricardo, yang beranggapan bahwa dengan perdagangan internasional yang bebas  akan memberikan kemakmuran pada negara yang melakukan spesialisasi diri pada produk tertentu dengan biaya yang lebih murah dan kualitas lebih kompetitif.
Berdasar pemikiran di atas maka GATT dibentuk pada tahun 1948 dengan tiga prinsip utama. Prinsip pertama ialah most favoured nation (MFN), yang berisi ketentuan bahwa suatu negara memberikan perlakuan  yang istimewa kepada negara  partner dagangnya dan hendaknya juga memperlakukan hal yang sama istimewanya kepada negara  lain yang melakukan transaksi perdagangan dengan negara yang bersangkutan. Perlakuan ini harus tercermin pada tarif impor, pajak ekspor, dan pungutan lainnya. Prinsip MFN bertujuan agar negara yang melakukan transaksi perdagangan internasional lebih mengutamakan  sistem multilateral yang kooperatif dari pada pembentukan aliansi bilateral dalam perdagangan internasional.
Pinsip kedua adalah reciprocity. Penurunan tarif atau penghapusan tarif  hendaknya dilakukan melalui perundingan dengan negara patner dagangnya. Sedang Prinsip ketiga adalah non-discrimination, bahwa setiap impor telah masuk ke pasar domestik suatu negara  hendaklah diperlakukan sama dengan barang domestik.
Pada kenyataannya, prinsip prinsip GATT di atas justru banyak dilanggar sendiri oleh negara-negara maju dan yang menjadi korbannya adalah negara-negara sedang berkembang. Dalam prakteknya terlihat jelas bahwa GATT dibuat tidak lebih dari untuk kepentingan negara-negara maju, sehingga tidak salah kalau GATT diberi julukan sebagai “The Richman’s Club” Maka untuk mengatasi persoalan yang timbul akibat praktek GATT tersebut, dilakukanlah Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang menghasilkan lembaga baru yang bernama World Trade Organization (WTO). Lembaga ini sebenarnya prinsip kerjanya tidak berbeda jauh dengan GATT namun memiliki kewenangan yang lebih besar dan keputusannya bersifat mengikat negara anggotanya.

XI.3 TINGKATAN GLOBALISASI DAN SUDUT PANDANG TERHADAP GLOBALISASI

1. Tingkatan Globalisasi
            Menurut  Susan dan Strange (Halwani, 2005:197) globalisasi terjadi pada berbagai tingkatan.Pertama, dengan mengacu pada gagasan sejarawan Perancis, Fernand Braudel, globalisasi terjadi pada tingkat material life, yang dimaksud adalah terciptanya struktur produksi global yang menentukan barang dan jasa apa yang dihasilkan oleh negara untuk kelangsun gan dan kenikmatan hidup. Produksi barang dan jasa itu beroritentasi ke pasar global dan tidak hanya terbatas pasar nasional saja.
            Kedua, globalisasi juga terjadi pada struktur keuangan, pembiayaan proses produksi lewat  kegiatan investasi kian membutuhkan ruang yang bersifat global sehingga ada kecenderungan teritoral state tidak lagi menjadi space yang relevan dan memadai bagi strategi investasi. Selain itu ada ledakan pertumbuhan transaksi  keuangan internasional. Salah satu indikator dari globalisasi  keuangan ini adalah tingkat pertumbuhan yang jauh lebih cepat dari perdagangan uang asing setiap harinya dibanding dengan total ekspor dunia. Lairson dan Skidmore (2000) menunjukkan pada tahun 1986 rasionya adalah 25:1, tahun 1995 rasionya 81:1 maka pada tahun telah menjadi 107 :1.
            Ketiga, globalisasi terjadi pada tingkatan persepsi, keyakinan, gagasan dan selera. Nilai-nilai seperti demokratisasi, perlindungan HAM, pelestarian lingkungan hidup telah menjadi isu-isu global. Salah satu contoh yang merepotkan negara sedang berkembang dari segi penanganan HAM  adalah prinsip humanitarian  intervention yang dilakukan PBB atas nama dunia internasional, dimana saja ada pelanggaran HAM berskala besar yang selalu dikaitkan dengan embargo ekonomi. Sedangkan keputusan ini banyak dilakukan oleh negara-negara besar di Dewan Keamanan PBB.

2.  Sudut Pandang Terhadap Globalisasi
            David Held at.al,(1999) membagi pendapat para pakar dalam memandang dan menyikapi globalisasi dalam tiga kelompok, yakni kelompok hiperglobalis, kelompok skeptis dan kelompok transformationalis. Bagi kelompok hiperglobalis pengertian globalisasi  adalah sejarah baru  kehidupan manusia dimana negara  tradisional telah menjadi tidak relevan lagi, lebih-lebih menjadi tidak mungkin dalam unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global.  Kelompok ini percaya globalisasi ekonomi membawa serta gejala “denasionalisasi” ekonomi melalui pendirian jaringan jaringan  produksi trasnasional (transnasional  networks) , perdagangan, dan keuangan. Dalam dunia yang borderless ” peran pemerintah tidak lebih seperti transmission belts bagi kapital global. Lebih lanjut kelompok ini percaya globalisasi ekonomi tengah membangun bentuk baru organisasi social yang tengah menggantikan atau akhirnya akan menggantikan negara bangsa (nation states) sebagai lembaga ekonomi utama dan unit politik dari masyarakat dunia.
            Kenichi Ohmae sebagai pendukung hiperglobalis dalam buku The End  of nation State (1995) yang sering dijadikan manifesto  hiperglobalis, berargumen bahwa setidaknya ada empat faktor yang membuat peran negara bangsa di era “dunia tanpa batas negara“ (a world without borders) makin menipis.Negara bangsa tidak lagi memiliki sumber-sumber tanpa  batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mewujudkan  ambisi mereka. Empat faktor tersebut oleh Ohmae disebut sebagai empat I (investment, industry, information technology dan individual). Investasi sebagai I yang pertama adalah pasar modal di negara maju yang dibanjiri uang tunai untuk invesasi, karena peluang investasi tidak selalu ada maka pasar  modal mengembangkan berbagai mekanisme uintuk mentranfer dana keuangan itu melintasi batas-batas nasional. Dengan kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan aliran dana ini menyebar dengan cepat keseluruh penjuru dunia. Namun investasi ini juga menimbulkan dampak  buruk bagi negara bangsa yang struktur ekonomi dan keuangannya rapuh. Kasus Asia Timur, dan Asia Tenggara adalah contoh yang jelas akibat globalisasi keuangan ini.
            Industri yang merupakan I ke dua, adalah industri yang mempunyai orientasi global dibanding sepuluh tahun lalu. Strategi perusahaan TNC dan MNC tidak lagi dikendalikan oleh alasan negara namun lebih pada keinginan  dan kebutuhan melayani dan mencari sumber-sumber ekonomi di seluruh dunia.
            Pergerakan investasi dan industri keseluruh dunia tidak lepas berkat kemajuan I yang ketiga yaitu information technology. Juga ditambah dengan makin murahnya tranportasi menyebabkan perusahaan  transnasional dan aliran modal global makin gampang  bergerak ke seluruh dunia. Teknologi informasi pulalah yang menyebabkan  integrasi, interdependensi dan interlink  semua aspek kehidupan baik itu budaya, ekonomi  dan politik sehingga terciptalah globalisasi budaya, globalisasi ekonomi dan globalisasi politik.
            Individual sebagai I keempat, menunjukkan individu di seluruh dunia makin berorientasi global. Teknologi informasi memungkinkan individu melihat, membeli dan berperilaku seperti dilakukan dibelahan dunia lain. Hal ini terutama terlihat pada gaya hidup yang banyak meniru perilaku individu di negara maju. Konsumen makin menginginkan produk berkualitas, murah tanpa menghiraukan darimana produk tersebut berasal. Fenomena  ini dikenal sebagai international demonstration effect.
            Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini disebut sebagai kelompok skeptis terhadap globalisasi. Hirst dan Thompson sebagai pendukung kelompok skeptis, menyerang tesis hiperglobalis yang menganggap remeh peran kekuasaan pemerintahan nasional dalam mengatur  kegiatan ekonomi internasional. Bahkan Hirst dan Thompson  menganggap globalisasi adalah mitos belaka. Kelompok skeptis ini berpendapat bahwa kekuatan global itu sendiri sangat tergantung pada kekuasaan  mengatur pemerintahan nasional untuk menjamin liberalisasi ekonomi terus berlanjut. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa sebenarnya proses globalisasi hanya berlangsung di Jepang, Amerika Serikat dan Eropa. Sedangkan kekuatan regionalisme menjadi satu ciri yang menunjukkan peran negara bangsa.
            Kelompok ketiga ini terletak diantara pandangan ekstrim hiperglobalis dan skeptis, kelompok ini dikenal dengan nama transformasionalis. Kelompok ini berkeyakinan bahwa pada permulaan  milineum baru, globalisasi adalah kekuatan utama  dibalik perubahan sosial, ekonomi dan politik yang tengah menentukan kembali masyarakat masyarakat modern dan tantanan dunia (world order). Penganut kelompok ini meyakini proses globalisasi yang tengah berlangsung saat ini secara historis belum pernah terjadi sebelumnya dimana tak lama lagi perbedaan antara  internasional dan domestik, hubungan internal dan eksternal tidak lagi menjadi jelas. Meskipun mereka juga mengakui bahwa proses globalisasi mempunyai akar sejarah yang panjang.
            Mengenai peran negara bangsa, kelompok tranformasionalis berpendapat bahwa  globalisasi yang tengah berlangsung saat ini sedang mengatur kembali kekuasaan, fungsi dan otoritas pemerintahan nasional. Peran negara harus disejajarkan  dalam berbagai tingkat dengan perluasan yurisdiksi lembaga pengaturan internasional sebagai mana kewajiban yang berasal dari hukum internasional. Artinya peran negara bangsa sejajar dengan lembaga internasional dan perusahaaan transnasional.
            David Held dalam buku Global Tranformation (2000) sebagai kelompok tranformatif ini menyatakan bahwa globalisasi masa lampau dengan sekarang berbeda jauh karena tiga hal yaitu ; velocity, intensity dan extensity. Karena tiga hal tersebut globalisasi sekarang menimbulkan  dampak dahsyat dibanding globalisasi sebelumnya. Namun bukan berarti telah melabrak segala sesuatunya hingga hilang, budaya lokal dan negara bangsa (nation state)  tetap ada.

XI.4  MODEL-MODEL DALAM SISTEM EKONOMI GLOBAL
            Terlepas dari suka atau tidak suka, proses globalisasi meskipun belum jelas tipe idealnya terus terlanjut karena kekuatan-keuatan internal (pasar, informasi, teknologi dan kontrol) Namun untuk kepentingan ilmu ekonomi dan ilmu pengetahuan pada umumnya bentuk masa depan sistem ekonomi internasional atau system ekonomi global tetap penting untuk dipetakan. Hirst dan Thompson (1996) mengajukan dua model ideal, yaitu : 1) ekonomi internasional yang terbuka (an open international economy) dan 2) ekonomi global purna ( a fully globalized economy)
Model I: Ekonomi internasional
Model pertama ini merupakan system ekonomi yang masih bercirikan ekonomi nasional masing-masing negara. Hubungan perdagangan dan investasi antar bangsa tidak serta merta menhilangkan identitas  sistem ekonomi nasional, tapi lebih merupakan dinamika  hubungan keluar (outward looking) dari masing-masing pelaku. Meskipun demikian, hubungan intensif dalam uda bidang tersebut terus membawa pelaku-pelaku ekonomi nasional berintegrasi ke pasar internasional. Pemisahan  identitas dan kebijakan pada dua level (nasional dan internasional) masih tetap terlihat dengan jelas.
            Model ekonomi internasional seperti ini mencirikan saling ketergantungan antar bangsa, tetapi tetap terpisah antara entitas ekonomi  nasional dengan aspek internasionalnya. Kejadian kejadian pada tingkat internasional tidak otomatis mempengaruhi ekonomi domestik, tetapi justru diserap dengan berbagai proses khas dari ekonomi nasional itu sendiri. Dengan demikian kebijakan pada tingkat nasional masih mempunyai kekuatan  terhadap sisi dan elemen kehidupan masyarakat.
            Tipe seperti ini mirip seperti ekonomi Inggris dan Eropa abad pertengahan sampai 1914. Ekonomi Inggris menjadi pusat hegemoni dan penjamin berlangsungnya sistem itu. Tetapi setelah PD II, kekuatan hegemoni Inggris mulai surut karena melemahnya sistem industri negara itu – inilah yang kemudian menghasilkan kebangkitan proteksionisme, terutama setelah 1930 an, sekaligus menandakan datangnya hegemoni baru, yakni Amerika Serikat dengan berlakunya Bretton Wood.
            Sistem ekonomi internasional juga ditandai oleh bangkitnya perusahaan multinasional (MNC, Multi National Corporation). Meskipun demikian MNC masih bias diidentifikasikan basis negaranya dan tetap mengikuti tata aturan dan kebijakan  nasional masing-masing. Ekonomi internasional sekarang memang diarahkan lebih terbuka, diikuti oleh kebangkitan lembaga-lembaga seperti WTO/GATT, APEC dan lain sebagainya. Lembaga ini dibuat untuk menjaga keterbukaan ekonomi negara anggotanya  meskipun pada kenyataannya negara  maju lebih banyak diuntungkan. Sistem ekonomi internasional semakin intensif berinteraksi satu sama lain pada akhir abad ke-20 ketika revolusi teknologi komunikasi dan informasi muncul.

Model II : Ekonomi Global (globalized economy)
            Model kedua ini pada dasarnya merupakan kebalikan dari model pertama dimana ekonomi internasional hanya merupakan bagian integral dari segenap proses, transaksi dan perkembangan global. Ekonomi global tercipta dan saling berinteraksinya ekonomi nasional mengarah ke bentuk kekuatan baru. Dengan demikian kebijakan pada tingkat nasional maupun kebijakan bisnis pada tingkat perusahaan  tidak lain  sebagai perwujudan  dan penyatuan kekuatan-kekuatan pasar global. Kebijakan, kegiatan dan interaksi pada tingkat nasional  diintegrasikan ketingkat global.
            Meskipun demikian kegiatan dan sistem ekonomi yang mengglobal membawa persoalan : “Bagaimana dengan institusi  pemerintah pada tingkat yang sama (internasional), yang menyertai institusi  pasar global ?” Masalah ini merupakan isu krusial karena tanpa mekanisme pemerintahan, institusi pasar akan berkembang pada tatanan yang amat riskan, tidak adil, mendekati hukum rimba dan tidak akan mampu mengakomodasikan nilai moral dan etika.
            Institusi pasar pada tingkat nasional terlepas apakah terinteraksi dengan negara lain atau tidak) senantiasa berkembang berdampingan dengan institusi negara  atau pemerintahan (state institution governance). Dalam kenyataannya, tidak mungkin institusi pasar berkembang tanpa  pengaturan yang dikeluarkan oleh negara. Institusi pasar tidak bias dibiarkan berjalan sendiri tanpa basis institusi negara.
            Institusi negara, sistem, praktek dan para pelaku di dalamnya, berperan menjaga keseimbangn mekanisme pasar sehingga berperan positif bagi pelaku-pelakunya, bersifat adil, dan berfungsi sebagai penyangga bagai berlangsungnya sistem ekonomi yang sehat. Secara teoritis, mekanisme pasar berjalan  sinambung, sehat dan adil dalam panduan institusi negara. Jika terdapat  kecenderungan  penguasaan pasar, blokade, integrasi vertikal-horizontal, monopoli, kartel dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya maka tugas institusi negaralah yang meluruskannya agar tercipta pemerataan kekayaan dan partisipasi pelakunya, redistribusi, stabilisasi ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
            Namun dalam model ekonomi global, institusi negara dalam bentuk governance pada tingkat internasional tidak bisa hadir dengan sendirinya tanpa konsensus  kolektif negara anggotanya. Institusi pada tingkat inilah yang tidak berkembang dengan baik, terbukti dengan krisis yang terjadi sejak tahun 1930an (depresi), tahun 1970-an (krisis minyak), sampai akhir 1990-an (krisis mata uang di Asia), menunjukkan  berperannya institusi governance pada tingkat internasional.

XI.5  DAMPAK EKONOMI GLOBAL.
William Greider dalam bukunya One World, Ready or Not, The Maniac Global Capitalism (1998) melontarkan tesisnya bahwa motor dibalik globalisisme adalah ” kapitalisme global ”. Sesuai dengan watak  dari kapitalisme yang rakus dan tidak pernah puas, mereka beramai-ramai menguras kekayaan dunia, masuk ke kantong mereka dnegan memanfaatkan teknologi komputer, mengabaikan kesantunan hidup bersama.Memang  kapitalisme global telah memberikan kenyamanan dan kemudahan namun hanya dinikmati 10 % penduduk dunia. Sementara jurang antara kaya dan miskin (istilah baru, digital devide) menjadi kian menganga. Kapitalis global ini terdiri atas spekulan uang yang jumlahnya tidak lebih dari 200.000 orang (termasuk George Soros yang paling terkenal) dan 53.000 MNC yang hanya memperkerjakan 6.000.000 orang di seluruh dunia.Juga institusi seperti IMF, World Bank, WTO. Lembaga-tersebut telah secara langsung maupun tidak langsung membantu liberalisasi ekonomi keseluruh dunia, dimana tahun 1970 an pasar dunia masih merupakan pasar tertutup. (Halwani,2005:201)
Dampak utama yang muncul akibal globalisasi ekonomi adalah  bagaimana mengatur ekonomi global itu. Pasar global  yang terlepas dari konteks sosialnya sulit sekali diatur sekalipun  taruhlah ada kerja sama yang efektif antara pihak yang berwenang mengatur ekonomi dan kepentingan mereka sejalan. Kesulitan utama adalah bagaimana menyusun pola kebijakan nasonal dan internasional yang efektif dan terintegrasi guna menghadapi kekuatan-kekuatan pasar global. Ketergantungan sistematik antara  negara dan pasar sama sekali tidak harus berarti akan  tercipta secara otomatis integrasi harmonis  yang memberikan manfaat pada konsumen dunia, karena pasar global benar-benar bebas dan efisien dalam membagikan sumber dan daya produksinya.
Dampak utama kedua adalah pelaku ekonomi yang banyak berperan dalam model ekonomi global ini adalah perusahaan besar MNC (multi national corporation)   dan akan berubah menjadi TNC (trans national corporation). TNC bercirikan murni modal yang bebas mengalir kemana saja (footloose investment) juga industri yang gampang pindah lokasi (footloose industry) tanpa kedudukan nasional, dengan pengelolaan manajemen internasional, dan bersedia beroperasi dimana saja untuk mencari laba sebesar-besarnya. Di sektor keuangan  hal ini dapat dicapai dengan mudah, cukup dengan menekan tombol komputer  maka lalu lintas modal akan berpindah ke belahan dunia manapun tanpa terpengaruh campur tangan kebijakan moneter nasional sedikitpun.
Dalam perusahaan yang bergerak di sektor industri  primer, TNC akan mencari sumber daya alam, memproduksi dan memasarkan  barang di tingkat dunia sejauh strategi dan peluang  menguntungkannya. TNC tidak lagi berbasis di satu negara saja (seperti halnya MNC) akan tetapi melayani seluruh penjuru dunia. TNC juga tidak dapat dihambat dan dikendalikan oleh kebijakan negara manapun kecuali oleh kepentingannya sendiri (maksimalisasi laba). TNC memang merupakan wujud ekonomi global murni.
            Namun demikian, bila kita melihat fenomena perilaku perusahaan Jepang yang enggan menempatkan fungsi penelitian dan pengembangan atau proses produksi suku cadang bernilai tinggi di pabrik cabang di negara asing, maka kecenderungan dalam masa depan yang tidak terlalu jauh, yang terlihat adalah perusahaan nasional dengan operasi internasional (MNC) ketimbang TNC.
Dampak ketiga adalah melemahnya posisi tawar politik dan ekonomi serikat buruh. Pasar global dan TNC  cenderung disertai pasar tenaga kerja dunia yang terbuka pula. Namun operasi pasar tenaga kerja dunia bukan dalam bentuk lalu lintas tenaga kerjadari satu negara ke negara lain, tetapi dalam bentuk arus modal yang bergerak memilih lokasi-lokasi yangh terbaik dari sisi upah buruh dan pasokan tenaga kerja.  
Kecenderungan modal bergerak dengan bebas dari satu negara ke negara lain (footloose investment), sementara angkatan kerja tetap berada di negara masing-masing, akan menguntungkan negara maju  yang memiliki angkatan kerja paling siap  meskipun biaya overhead dan jaminan sosial tinggi dilihat dari kompetensi keterampilan dan motivasi kerja.
            Dampak globalisasi yang terakhir  dan tidak dapat terelakan adalah bahwa dalam sistem politik internasional muncul  pusat-pusat kekuatan baru. Negara yang selama ini memegang  kekuasaan hegemoni di dunia tidak dapat lagi memaksakan tujuan kebijakannya sendiri, baik di dalam wilayahnya maupun di tempat lain,sementara lembaga lain (swasta maupun pemerintah) yang selama ini lemah  sekarang akan lebih  kuat.
            Berbagai lembaga, dari lembaga sukarela internasional hingga perusahaan TNC, menikmati kekuasaan yang lebih besar  sementara wibawa pemerintah nasional makin turun. Lembaga-lembaga ini dengan menggunakan pasar global dan media global, memperoleh legitimasi  dari konsumen dan warga lintas batas.

1. Janji janji Globalisasi
            Dampak positif  yang dijanjikan globalisasi  sangat banyak (Deliarnov, 2006 : 203). Selain menjanjikan  memperlancar arus tranportasi dan informnasi;  memberikan akses dan alih pengetahuan; memperpanjang usia harapan hidup; melayani masyarakat lebih baik lagi; meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan ekspor; membuat harga lebih murah; meningkatkan standard hidup; mengurangi kemiskinan; mengurangi ekploitasi  terhadap tenaga kerja wanita dan anak-anak. Selain daftar kehebatan di atas, globalisasi juga dipandang sebagai  salah satu pendorong lahirnya lembaga  atau badan  yang memberikan  banyak bantuan modal (World Bank dan IMF), lembaga yang merupakan wadah pasar bebas (WTO), institusi intergovernmental untuk bantuan perdamaian (PBB); perburuhan (ILO); pendidikan (UNICEF); kesehatan (WHO) dan juga lembaga bantuan sosialm (Palang Merah Internasional)
            Benarkah janji-janji tersebut ? Bagi sebagian negara sedang berkembang janji-janji di atas tidak lain adalah mitos belaka. Hal ini terlihat dengan fakta sebagai berikut.
IMF dan World Bank selalu berusaha meyakinkan bahwa liberalisasi  dan globalisasi akan memicu pertumbuhan. Padahal  belum ada teori maupun bukti bahwa liberalisasi pasar betul-betul  dapat memacu pertumbuhan (Stiglitz,2001) Pasar bebas justru membuat pasar domestik tidak efisien jika ada pihak-pihak melakukan monopoli. Masuknya produk asing justru mendesak dan mematikan produk dalam negeri sehingga bukannya pertumbuhan yang timbul tapi justru penggangguran terutama di sektor industri dan pertanian.
            Bahwa globalisasi akan membantu negara-negara sedang berkembang  meningkatkatkan ekspor dan menyediakan barang dan jasa dengan harga  murah. Hal ini juga cuma janji kosong, karena pada kenyataannya negara sedang berkembang justru berhadapan dengan produk dari negara maju yang lebih berkualitas dan harga yang lebih murah. Sedangkan produk negara sedang berkembang sulit masuk ke pasar negara maju karena dihambat dengan berbagai cara.
            Globalisasi akan menciptakan lapangan kerja. Hal ini memang tujuan utama didirikannya IMF ; Bank Dunia GATT seperti disarankan oleh JM Keynes, yakni untuk mengatasi kegagalan pasar dan mendorong peran pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja. Fakta di lapangan ternyata berbicara lain, justru munculnya TNCs di negara berkembang menimbulkan pengangguran karena biasanya bisnisnya bersifat capital intensive dan high technology. Menurut Susan George, 200 TNCs terbesar menguasai 25 % kekayaan dunia, tapi tidak banyak menyerap tenaga kerja. Sedangkan 6000 TNCs yang menguasai sepertiga  perdagangan dunia hanya mampu menyerap kurang dari 1 % tenaga kerja dunia.
            Globalisasi juga dikatakan akan mengurangi eksploitasi terhadap tenaga kerja perempuan dan anak-anak. Dalam prakteknya malah menunjukkan  telah terjadi “feminisasi” tenaga kerja, yakni dominannya tenaga kerja perempuan disektor industri dengan upah yang rendah. Bahkan sebagian migran perempuan dari desa-desa itu terjebak trafficking (perdagangan perempuan antar negara).

2. Dampak Globalisasi Ekonomi Terhadap Indonesia.
            Sejak tahun 1993, OECD sudah memberi sinyal Indonesia akan dirugikan dengan berlakunya liberalisasi perdagangan internasional. Akan tetapi Soeharto sebagai penguasa Orde Baru yakin sekali dengan prakarsa perdagangan bebas. Akhirnya yang terjadi adalah ramalan OECD tersebut terbukti, yakni Indonesia justru menghadapi persaingan baru dari negara-negara maju yang mampu menghasilkan produk dengan kualitas baik dan harga bersaing, sedang produk Indonesia sulit masuk ke pasar negara maju karena dihambat dengan pencabutan fasilitas kemudahan ekspor yang bernama Generalized System of Preference. GSP ini merupakan fasilitas yang diberikan oleh Departemen Perdagangan AS kepada sejumlah negara untuk mengurangi dan menghilangkan pajak impor bagi negara yang dianggap berdagang secara “sehat“ dengan AS.
            Sejak peristiwa WTC 11 September 2001, AS khususnya melakukan proteksi yang dikemas dengan istilah undang-undang bio-terrorism, iso-labeling, eco-labeling, ditambah embargo ekonomi dan sangsi ekonomi. Peristiwa Santa Cruz di Timor Timur (waktu itu) membuat Indonesia diembargo dalam pengadaan alat militer dan juga perdagangan ekspor Indonesia ke AS.  Tekanan paling keras dilakukan AS terhadap negara industri baru di Asia Timur termasuk Indonesia. Hal ini dilakukan oleh AS guna menyeimbangkan neraca perdagangan As yang merosot pada beberapa tahun terakhir ini. Hal ini tentu berdampak pada perekonomian nasional karena masuknya produk asing, embargo, dan proteksi negara tujuan ekspor khususnya AS menjadikan daya saing produk domestik lemah dan munculnya efek domino karena tutupnya sejumlah industri, yaitu PHK dan pengangguran.
            Perluasan ekspor Indonesia terasa makin berat sejak dicabutnya GSP tahun 2005 belum lagi halangan masuk (entry barrier) yang sengaja diciptakan oleh negara maju. Sehingga ekspor tekstil Indonesia tidak memiliki kuota untuk masuk pasar AS. Didalam negeri gempuran produk China terus-menerus terjadi, sehingga beberapa industri domestik rontok dan merumahkan karyawannya.
            Globalisasi bukan hanya menggempur pelaku ekonomi di negara sedang berkembang. Globalisasi mampu mengendalikan demokrasi bahkan bertindak lebih jauh dengan mendikte  apa yang harus dilakukan pemenang pemilu yang diselenggarakan secara demokratis sekalipun.  Rakyat memang menentukan siapa yang menang dalam pemilihan umum. Namun siapa yang akan duduk di kabinet bisa ditentukan oleh konstituen pasar  yang berada di sentra finansial global.
            Hal di atas bisa terlihat jelas waktu Presiden Soeharto kembali menduduki kursi kepresidenan tahun 1996, Presiden AS Bill Clinton mengutus Walter Mondale datang ke Indonesia membujuk Soeharto agar sepenuhnya melakukan liberalisasi ekonomi sesuai resep dari IMF. Mondale menunjukkan jika Soeharto mengisi kabinetnya dengan menteri yang anti globalisasi maka pasar akan merespon negatif.
            Di pasar global Indonesia tidak menghadapi persaingan biasa yang hanya menggantungkan diri pada mekanisme pasar, tetapi Indonesia menghadapi kekuatan yang terpola. Kekuatan ini bisa berbentuk TNCs, MNCs, pemerintahan negara kaya, lembaga dunia seperti IMF, Word Bank dan WTO. Indonesia saat ini berada dalam jebakan “perang modern” yang dimulai dari krisis moneter 1997/1998. (Deliarnov, 2006).

XI.6 PERAN BANK DUNIA  DAN IMF DALAM PEREKONOMIAN   INDONESIA.
1. Peranan World Bank Dalam Perekonomian Indonesia           
Selama rentang waktu tiga puluh tahun  (tahun 1967-1998) dukungan pendanaan yang telah diberikan oleh Bank Dunia mencapai lebih dari US$ 25 miliar. Porsi terbesar dari pembiayaan tersebut disedot oleh pembangunan infrastruktur yakni sebesar 40 %.Sektor pertanian mencapai porsi 19 %, sektor pembangunan perkotaan , air bersih dan sanitasi pencapai 10 %.(Subiyanto dan Riphat, editor, 2004 : 351)
            Pada Dekade 1980-an, Bank Dunia mengawali  program bantuan untuk merestrukturisasi  sektor keuangan, sejalan upaya pemerintah melakukan deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Sedangkan selama kurun waktu 1990 - 1998 perhatian Bank Dunia tersedot  pada masalah lingkungan hidup. Prasyarat lingkungan hidup dijadikan prasyarat dalam memberikan pinjaman pada Indonesia. Misalnya pinjaman pada sektor pertanian dikaitkan dengan penghutanan kembali (reforestration) yang memang sangat penting untuk dilakukan. Bahkan munculnya UU Lingkungan Hidup dan terbentuknya Bapedal juga tidak lepas dari dukungan Bank Dunia.
            Perkembangan perekonomian Indonesia  sejak Pelaita  1 sampai dengan Pelita VI sangat mengagumkan sehingga Indonesia dianggap sebagai salah salah satu “Asian Miracle”. Stabilitas ekonomi terjaga memungkinkan investor melakukan ekspansi. Bank Dunia terus menindak lanjuti  pembiayaan bagi sektor keuangan (tahun fiskal 1993)  yang bertujuan untuk memacu liberalisasi sektor keuangan  Namun upaya ini gagal karena tidak mencapai hasil yang diharapkan dan membuahkan hasil krisis moneter pada tahun 1997.

Tabel XI.1.
Alokasi Pinjaman Bank Dunia
perSektor (tahun 1969-1998)

Sektor
US$ juta
1969-98
%
1969-98
%
1969-79
%
1980-90
%
1990-98
Infrastruktur(migas, telkom, transport)
10,196
40.2
36.9
34.3
46.9
Pertanian
Pendidikan,kesehatan,kependu
dukan,gizi
4,880
3.301
19.2
13.0
34.8
7.3
24.7
11.6
9.5
16.0

Perkotaan, sanitasi &air bersih
Keuangan
2,624
1,818
10.4
7.2
6.1
6.6
6.6
10.4
15.1
4.2
Penyesuaian
Lain-lain
1,200
1,351
4.7
5.3
-
8.3
8.7
3.7
2.2
6.1
Total
25,370
100.0
100.0
100.0
100.0
Sumber : Hutagalung,2004:353

Periode 200-2003 program Bank Dunia terfokus pada penurunan tingkat kemiskinan dengan pendekatan sentralisasi. Tiga tujuan utamanya adalah :1) melanjutkan pemulihan ekonomi; 2) menciptakan pemerintahan yang bertanggung jawab dan tranparan serta 3) menyediakan pelayanan  umum yang lebih baik terutama bagi kelompok miskin.
Pada tahun 2003 pemerintah Indonesia memutuskan untuk  tidak melanjutkan kerjasama dengan IMF serta menyusun paket Kebijakan Ekonomi Pasca  Program IMF yang dikenal dengan “ white paper” untuk membuktikan upaya serius melanjutkan reformasi ekonomi mandiri kendali monitoring  pada  tangan pemerintah Indonesia. Persoalan ini terkendala dengan masih kuatnya KKN sehingga Bank Dunia menjadikan isu tranparansi dan akuntabilitas menjadi elemen  dalam setiap proyeknya.

2. Peranan IMF dalam Stabilitas  Perekonomian Indonesia
            Pada tahun 1967 Indonesia kembali kerjasama dengan IMF dengan kuota SDR 2 milyar. Sebelumnya  juga pernah memberikan pinjaman pada Orde Lama sejumlah US$ 102 juta. Selama tiga dasawarsa dukungan IMF berupa  penyediaan fasilitas Stand by Credit (jangka menengah) agar cadangan devisa di BI cukup guna menjaga nilai rupiah. Peran IMF menjadi sangat penting  pada saat krisis moneter, yaitu pada saat terjadi kesepakatan antara IMF dengan Indonesia , yaitu berupa Letter of Intent (LOI).
            Dengan adanya jaminan IMF serta komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi di berbagai bidang seperti dituangkan dalam LOI, maka skema penjadwalan kembali  hutang luar negeri yang jatuh tempo dapat dilakukan melalui skema Paris Club (hutang pemerintah) maupun London Club (hutang pemerintah/BI  kepada swasta) Sejumlah US$ 15 miliar pinjaman pokok  telah dijadwalkan kembagli pembayarannya melalui Paris Club (US$ 4,2 miliar), Paris Club II (US$ 5,4 miliar) dan Paris Club III(US$ 5,4 miliar). Dengan penjadwalan ini maka tekanan dan beban APBN berkurang.
            Secara umum program yang disarankan IMF untuk mengembalikan stabilitas makro-ekonomi dan kepercayaan pasar dapat dibagi menjadi tiga hal, yaitu :
-          terwujudnya kerangka makro ekonomi yang kuat
-    strategi komprehensif untuk melakukan restrukturisasi sector keuangan
-    kebijakan struktural secara umum  (termasuk good governance)
            Kebijakan makro ekonomi secara umum mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini ditunjukkan dengan membaiknya nilai tukar Rupiah pada Oktober 1998 dan tingkat bunga perbankan mulai menurun. Namun di satu sisi perekonomian mengalami pertumbuhan minus 13 % dan inflasi yang cukup tinggi.
            Pada bulan Januari 2000 IMF kembali menyetujui US$ 5 miliar extended fund arrangement (EEF) untuk tiga tahun kedepan dalam rangka mendukung program reformasi ekonomi dan struktural. Programnya adalah  untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menurunkan inflasi, mengurangi hutang hutang publik, mengembangkan pasar modal, reformasi perpajakan, mengurangi subsidi secara bertahap, desentralisasi fiskal, melanjutkan restrukturisasi perbankan dan korporasi, privatisasi dan reformasi diberbagai sektor, serta peningkatan  kapasitas kelembagaan dan good governance.
            Kemajuan yang cukup strategis dalam penangangan masalah fundamental yang terjadi sejak krisis 1997, mulai berhasil diatasi. Namun sayangnya kemajuan yang berarti tersebut tidak memicu kemajuan di sektor riil. Untuk menggerakkan sektor riil dan memperluas kesempatan kerja diperlukan investasi baru. Ketergantungan Indonesia terhadap IMF memang cukup besar namun hal tersebut dilakukan dalam rangka memulihkan dan menggerakkan perekonomian Indonesia. Namun sejalan dengan amanat MPR untuk segera mengakhiri  program IMF, pemerintah telah mengeluarkan  serangkaian paket kebijakan menjelang dan sesudah berakhirnya program kerja sama dengan IMF yang ditetapkan dengan Inpres No. 5 Tahun 2003.
            Dalam rangka mengakhiri kerjasama dengan IMF maka pemerintah telah menyiapkan program pemulihan ekonomi yang pelaksanaanya  dilakukan sendiri oleh pemerintah serta memonitor hasilnya. Peran IMF tetap ada dan dituangkan dalam  Post Program Monitoring (PPM) yang merupakan proses konsultsi sebagai terjadi pada negara yang baru saja mengakhiri program dengan IMF.
            Setelah tidak lagi kerjasama dengan IMF dan dalam rangka melanjutkan reformasi untuk mendayagunakan kemampuan sumber daya ekonomi dalam negeri dan meningkatkan daya tahan ekonomi secara bekelanjutan.  Pemerintah  Indonesia mengeluarkan paket kebijakan pada tahun 2003 dan 2004 yang berisi tiga sasaran pokok, yaitu :
1. Memelihara dan memantapkan stabilitas ekonomi makro;
2. Melanjutkan restrukturisasi  dan reformasi sektor keuangan;
3. Meningkatkan investasi , ekspor dan penciptaan kesempatan kerja.