Ekonomi Moneter merupakan salah satu instrumen penting dalam
perekonomian modern, dalam perekonomian modern terdapat dua kebijakan
perekonomian yang dijadikan instrumen oleh pemerintah dalam menstabilkan
perekonomian suatu negara, yang pertama adalah kebijakan Fiskal, yaitu
kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya
dalam merealisasi tujuan-tujuan ekonomi. Yang kedua adalah kebijakan
moneter. Kebijakan moneter adalah langkah pemerintah untuk mengatur
penawaran uang dan tingkat bunga. Pada tulisan ini saya sebagai penulis,
akan mencoba menyajikan konsep-konsep dasar ekonomi moneter
konvensional dan ekonomi moneter islam.
Ekonomi juga salah satu instrument penting dalam perekonomian modern, dalam perekonomian modern terdapat dua kebijakan yaitu :
a) Kebijakan Fiskal yaitu kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk membelanjakan pendapatan Negara untuk tujuan-tujuan ekonomi.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah
yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah
tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak
diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan
industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan
pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output
industri secara umum.
b) Kebijakan Moneter yaitu suatu usaha dalam
mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan
yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam
perekonomian atau langkah pemerintah untuk mengatur penawaran uang dan
tingkat bunga. Kebijakan moneter terbagi dua yaitu :
v Kebijakan Moneter Ekspansif yaitu suatu kebijakan dalam rangka
menambah jumlah uang yang beredar disuatu Negara, apabila tidak ada
kebijakan ini maka jumlah uang di suatu negara akan menipis sehingga
transaksi atau jual beli disuatu negara akan terganggu.
v Kebijakan Moneter Kontraktif yaitu suatu kebijakan dalam rangka
mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang
ketat (tight money policu).
Tujuan Ekonomi Moneter
Adapun tujuan ekonomi moneter adalah untuk mencapai stablisasi ekonomi yang dapat diukur dengan :
v Kesempatan kerja.
Dengan adanya kesempatan kerja atau lowongan pekerjaan maka makin besar
dalam meningkatkan produksi, selain dapat meningkatkan produksi maka
dapat juga membantu masyarakat yang menjadi pengangguran.
v Kestabilan harga
Harga yang makin kian tinggi membuat masyarakat menjadi resah, tiap
tahunnya harga barang bukannya menjadi turun tetapi semakin naik, untuk
mencegah harga yang semakin naik maka pemerintah menstabilkan harga
sehingga harga tidak mengalami kenaikkan setiap tahunnya.
v Neraca pembayaran internasional
Neraca pembayaran internasional yang seimbang menunjukkan stabilisasi
ekonomi di suatu Negara. Agar neraca pembayaran internasional seimbang,
maka pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan moneter.
Konsep Ekonomi Moneter Konvensional
Ekonomi Moneter merupakan suatu cabang ilmu ekonomi yang membahas
tentang peranan uang dalam mempengaruhi tingkat harga-harga dan tingkat
kegiatan ekonomi dalam suatu negara. Dalam pandangan ekonomi
konvensional maka tujuan memegang uang terdiri dari tiga keinginan,
yaitu :
a) Tujuan transaksi
Dalam rangka membayar pembelian-pembelian yang akan mereka lakukan
b) Tujuan Berjaga-jaga
Sebagai alat untuk menghadapi kesusahan yang mungkin timbul di masa yang akan datang
c) Tujuan Spekulasi
Dalam masyarakat yang menganunt sistem ekonomi konvensional ini, maka
fungsi uang yang tak kalah pentingnya adalah untuk spekulasi, dimana
pelaku ekonomi dengan cermat mengamati tingkat bunga yang berlaku saat
itu, jika menguntungkan bila dibandingkan investasi, maka masyarakat
cendrung mendepositokan saja uang, dengan harapan mendapat imbalan
bunga.Selanjutnya terkait dengan konsep ekonomi Moneter Konvensional
maka tidak bisa dipisahkan dengan Kebijakan Moneter.
Kebijakan Moneter adalah Kebijakan pemerintah dalam mengatur
penawaran uang dan tingkat bunga yang dilaksanakan oleh Bank sentral.
Bentuk Kebijakan Moneter ini terdiri dari Kebijakan Moneter Kuantitatif
dan Kebijakan Moneter Kualitatif.
Kebijakan Moneter Kuantitatif
adalah merupakan suatu kebijakan umum yang bertujuan untuk
mempengaruhi jumlah penawaran uang dan tingkat bunga dalam perekonomian.
terdiri dari:
a) Operasi pasar terbuka
Pada masa inflasi maka Bang Sentral akan mengadakan operasi pasar
terbuka dengan melempar surat-surat berharga ke Bank umum, sehingga
kelebihan uang di Bank Umum tidak menyebabkan inflasi, dan sebaliknya
pada masa deflasi
b) Mengubah Tingkat Bunga dan Tingkat
DiscontoTingkat bunga dan tingkat disconto merupakan instrumen
pemerintah dalam stabilisasi moneter, ketika inflasi maka pemerintah
melalui bank sentral dapat melakukan kebijakan menaikkan suku bungga
sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat akan berkurang, dan
kestabilan moneter akan tercapai, dan begitu pula sebaliknya pada masa
deflasi.
c) Mengubah Tingkat Cadangan Minimum
Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah
dengan mengubah cadangan minimun bank-bank umum ketika inflasi maka
pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan cadangan minimum yang
harus dimiliki oleh bank umum, dengan demikian jumlah uang yang beredar
di masyarakat akan berkurang, dan sebaliknya pada masa deflasi.
Kebijakan Moneter kualitatif
a) Pengawasan pinjaman secara selektif
Melalui kebijakan ini maka pmerintah melalui bank sentral
mengendalikan dan mengawasi peminjaman dan investasi-investasi yang
dilakukan oleh bank-bank umum.
b) Pembujukan Moral
Bank sentral melakukan pertemuan dengan bank-bank umum, malalui forum
ini maka bank sentral menjelaskan kebijakan-kebijakan yang sedang
dijalankan pemerintah dan bantuan-bantuan apa yang diinginkan oleh bank
sentral dari bank-bank umum untuk mensukseskan kebijakan
tersebut.Pemikiran Ekonomi Moneter IslamiDari terminologi ekonomi
konvensional, pembahasan ekonomi Moneter islami ini kelompok
c) mengambil asumsi
bahwa berbicara tentang ekonomi moneter terkait tentang dua hal :
1) Tentang uang dan aspek yang terpengaruh olehnya dan
2) Tentang tingkat bunga dan semua aspeknya.
Konsep Ekonomi Moneter Syariah
Kebijakan moneter sebenarnya bukan hanya mengutamakan suku bunga.
Bahkan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan
moneter dilaksanakan tanpa mengunakan instrumen bunga sama sekali.
Perekonomian Jazirah Arabia ketika itu adalah perekonomian dagang,
bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam; Minyak bumi belum
ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas.
Lalu lintas perdagangan antara Romawi dan India yang melalui Arab
dikenal sebagai Jalur Dagang Selatan. Sedangkan antara Romawi dan Persia
disebut Jalur Dagang Utara. Sedangkan antara Syam dan Yaman disebut
Jalur Dagang Utara-Selatan.
Perekonomian Arab di zaman Rasulullah SAW, bukanlah ekonomi
terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran
seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh
lapisan masyarakat Arab.
Dinar dan Dirham juga dijadikan alat pembayaran resmi. Sistem devisa
bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikit pun untuk mengimpor dinar
dan dirham.
Transaksi tidak tunai diterima luas dikalangan pedagang. Cek dan
promissory notes lazim digunakan. Misalnya Umar Ibnu-Khaththab ra.
Beliau menggunakan instrumen ini untuk mempercepat distribusi
barang-barang yang baru diimpor dari Mesir ke Madinah.
Instrumen factoring (anjak piutang) yang baru populer tahun 1980-an, telah dikenal pula pada masa itu dengan nama al-hiwalah, tapi tentunya bebas dari unsur bunga.
Apabila para pedagang mengekspor barang, berarti dinar/dirham
diimpor. Sebalikanya, bila mereka mengimpor barang. Berarti dinar/dirham
diekspor. Jadi dapat dikatakan bahwa keseimbangan supply dan demand di
pasar uang adalah derived market dari keseimbangan aggregate supply dan
aggregate demand di pasar barang dan jasa.
Nilai emas dan perak yang terkandung di dalam dinar dan dirham, sama
dengan nilai nominalnya. Sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis
sempurna terhadap tingkat pendapatan. Tidak ada larangan impor dirham
dan dinar berarti penawaran uang elastis.
Sistem moneter mengunakan bimetallic standar, dengan emas dan perak
(dalam bentuk uang dirham dan dinar) sebagai alat pembayaran yang syah.
Nilai tukar emas dan perak pada masa ini relatif stabil dengan nilai
kurs dinar – dirham 1 : 10. Permintaan akan uang dilandasi hanya oleh
dua motif, yaitu untuk transaksi dan berjaga-jaga. Modelnya sebagai
berikut :Md = Mdtr + Md pr ; apabila Md pr maka Mdtr. Mata uang dimpor,
dinar dari romawi, dirham dari parsia dan disesuaikan dengan volume
ekspor dan impor. Nilai emas dan perak pada kepingan dinar dan atau
dirham sama dengan nilai nominal (face value) uangnya. Penawaran uang
terhadap pendapatan sangat elastis. Tinggi rendahnya permintaan uang
bergantung kepada frekuensi transaksi perdagangan dan jasa. Permintaan
uang untuk transaksi dan berjaga-jagaKanz (larangan menimbun uang).
Deamnd money, elastis, karena tidak adanya hambatan terhadap impor
ketika demand meningkat.
KESIMPULAN
Ekonomi Moneter merupakan suatu cabang ilmu ekonomi yang membahas
tentang peranan uang dalam mempengaruhi tingkat harga-harga dan tingkat
kegiatan ekonomi dalam suatu negara. Dalam pandangan ekonomi
konvensional maka tujuan memegang uang terdiri dari tiga keinginan,
yaitu : Tujuan transaksi, Tujuan Berjaga-jaga,Tujuan Spekulasi.
Sedangkan dalam pandangan ekonomi Islam maka tujuan memegang uang
terdiri dari dua keinginan, yaitu : Tujuan transaksi, Tujuan
Berjaga-jaga. Dalam pandangan kebijakan moneter syariah, kebijakan
moneter sebenarnya bukan hanya mengutamakan suku bunga. Bahkan sejak
zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter
dilaksanakan tanpa mengunakan instrumen bunga sama sekali. Sedangkan
dalam pandangan kebijakan moneter konvensional bunga (interest) ini
menjadi hal yang sangat dominan bisa dilihat dari fungsi uang dalam
kebijakan ekonomi moneter salah satunya adalah tujuan spekulasi. Bentuk
Kebijakan Moneter terdiri dari Kebijakan Moneter Kuantitatif dan
Kebijakan Moneter Kualitatif.
Sumber :
http://bab-i-konsep-dasar-ekonomi-moneter/
mujahidinimeis.wordpress.com
Senin, 24 Desember 2012
Minggu, 23 Desember 2012
GLOBALISASI EKONOMI DAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA
GLOBALISASI EKONOMI DAN PEREKONOMIAN INDONESIA
Perekonomian
dunia mengalami perubahan sejak dasarwarsa tujuh puluh hingga tahun 2000
an yang bersifat mendasar atau
struktural serta mempunyai kecenderungan jangka panjang dan konjungtural. Perubahan dan perkembangan ini dikenal orang
dengan istilah globalisasi.
Gejala
globalisasi terjadi pada kegiatan
finansial, produksi, investasi perdagangan yang kelak berpengaruh pada hubungan
antar bangsa dan hubungan antar individu dalam segala aspek kehidupan. Hubungan
antar bangsa menjadi lebih saling tergantung
yang bahkan menjadikan ekonomi dunia menjadi satu sehinga seolah-olah
batas antar negara dalam kegiatan perdagangan, bisnis tidak ada lagi. (borderless
world)
Pada
umumnya negara di dunia menghadapi perkembangan tersebut dengan melakukan
langkah penyesuaian baik dalam wilayah regional maupun masing individu negara
yang kecenderungannya mengarah kepada proteksionisme. Hal terlihat jelas dengan
munculnya blok blok perdagangan yang pada intinya justru melanggar kesepakatan yang dituangkan dalam WTO.
Globalisasi
ekonomi ditandai dengan makin menipisnya
batas-batas investasi atau pasar
secara nasional, regional ataupun internasional. Hal ini disebabkan oleh :
(Halwani, 2005 : 194)
- Komunikasi dan tranportasi yang semakin canggih,
- Lalu lintas devisa yang makin bebas,
- Ekononomi negara yang makin terbuka,
- Penggunaan secara keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara,
- Metode produksi dan perakitan dengan organisasi yang makin efisien,
- Semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional (MNC) di hampir segala penjuru dunia.
Steiner (1997) menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang
mendorong terjadinya perubahan global. Pertama, produk nasional kotor (GNP)
tumbuh dan meningkat dengan cepat, terutama di negara-negara maju. Kedua,
revolusi dalam teknologi komunikasi. Ketiga, kekuatan-kekuatan yang
mempermudah munculnya perusahaan besar
berskala global.
11.1 KEBIJAKAN
PERDAGANGAN, PELUANG TANTANGAN DUNIA BISNIS DAN PERAN PEMERINTAH DALAM ERA
GLOBALISASI EKONOMI
1. Kebijakan
Perdagangan.
Kebijakan
perdangan dalam periode memasuki era lepas landas diarahkan pada penciptaan dan
pemantapan kerangka landasan perdagangan
yaitu dengan meningkatkan efisiensi perdagangan dalam negeri dan
perdagangan luar negeri dengan tujuan untuk memperlancar arus barang dan jasa, mendorong pembentukan
harga yang layak dalam iklim persaingan yang sehat, menunjang usaha
peningkatan efisiensi produksi,
mengembangkan ekspor, memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja,
meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat serta memantapkan stabilitas ekonomi.
Kerangka landasan yang ingin dicapai
tersebut meliputi unsur sebagai berikut :
·
Penciptaan
struktur ekspor non migas yang kuat dan
tangguh dengan cara melakukan
diversifikasi produk maupun pasar serta pelakunya,
·
Penciptaan
sistem distribusi nasional yang efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan
daya saing produk ekspor, mempertahan
tingkat harga yang stabil dalam negeri,
·
Peningkatan
daya saing usaha pelaku dalam kegiatan ekonomi perdangan baik dalam negeri maupun ekspor dengan
memupuk kebersamaan yang kokoh dalam
menghadapi pasar dunia yang makin ketat,
·
Tranpanransi
pasar dan pengelolaan kegiatan perdagangan dengan membangun sistem jaringan
perdagangan.
·
Meningkatkan
peran lembaga penunjang perdagangan seperti badan pelaksana bursa komoditi,
pasar lelang, BPEN , dll,
2. Peluang Dan Tantangan bagi Dunia Bisnis
Terbukanya pasar dunia akibat globalisasi ekonomi membuka
peluang bisnis antara lain :
·
Tersebarnya
pasar yang lebih luas skalanya dan
terdiversifikasinya barang manufaktur dan produk yang mempunyai nilai tambah
tinggi (value added products).
·
Terjadi
relokasi industri manufaktur dari negara
industri maju ke negara-negara sedang
berkembang dengan upah buruh yang lebih
murah. Sebagai konsekuensi logis dari relokasi industri tersebut, siklus
proses bahan baku menjadi produk akhir
menjadi lebih pendek. Hal ini akan menurunkan harga per unit serta meningkatkan volume
perdagangan.
·
Tersedianya
sumber pendanaan yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih murah (bunga)
karena makin beragamnya portofolio pendanaan terutama bagi negara yang sedang
tumbuh perekonomiannya.
Selain memberikan peluang yang terbuka lebar bagi dunia
bisnis , globalisasi ekonomi juga memberikan dampak negatif bagi dunia bisnis,
antara lain :
·
Terjadinya
tranfer pricing untuk memarkir dana maupun keuntungan di negara yang
menganut tax shelter (memberikan perlindungan terhadap pesembunyian
kewajiban membayar pajak).
·
Relokasi
industri karena footlose industry
membawa pula teknologi kadaluwarsa ke negara sedang berkembang (host
country), hal ini terjadi di negara asalnya (home country) teknologi
yang dipakai industri tersebut ketinggalan jaman.
·
Masuknya
FDI (foreign direct investment) dengan
teknologi canggih, seringkali tidak diimbangi dengan tersedianya sumberdaya manusia yang siap
mengoperasikannya sehingga membuat ketergantungan pada negara asal investasi
tersebut.
·
Masuknya
FDI juga seringkali menimbulkan trade off politis, yang merugikan
masyarakat dan pelaku bisnis di dalam negeri.
3. Peran Negara
Bangsa Dalam Era Global
Robert Gil;pin , salah satu tokoh realis menyatakan,
peran negara bangsa (nation state)
dalam era globalisasi sekarang ini masih sangat diperlukan (signifikan).
Gilpin pada awalnya menggugat beberapa keyakinan yang dianut pendukung
globalisasi dan pasar bebas . Menurut Gilpin banyak peneliti mempunyai
keyakinan bahwa tengah terjadi pergeseran besar dari ekonomi state dominated ke
arh ekonomi market dominated. Hancurnya Uni Soviet, kegagalan strategi
subtitusi impor negara dunia ketiga, dan
suksesnya AS pada era 1990 an telah mendoring penerimaan unrestricted market
sebagai solusi bagi penyakit ekonomi modern. Karena peran negara menjadi berkurang sebagai gantinya pasar akan
menjadi mekanisme penting baik untuk
perekonomian domestik maupun perekonomian internasional. Menurutnya peran
negara bangsa diyakini akan menjadi pembuka kearah ekonomi global yang
sesungguhnya , yang dicirikan oleh tiadanya hambatan dalam perdagangan , aliran
uang dalam skala global dan kegiatan internasional perusahaan multinasional
(Gilpin, dalam Winarno, 2005)
Namun
fakta regionalisme ekonomi diberbagai belahan dunia membuktikan bahwa peran
negara bangsa masih relevan. Regionalisme ini menunjukkan respon penting dari
negara bangsa dalam menyelesaikan secara
bersama-sama masalah politik dan interdependensi yang tinggi dari ekonomi
global yang hypercompetitive.Dibanding regionalisme pada tahun 1950 an
dan 1960 an , bentuk reginalisme baru ini lebih signifikan dalam ekonomi
global. Kadangkala regionalisme ekonomi ini mewakili kepentingan individual negara bangsa baik
untuk kepentingan mereka di level nasional maupun kolektif.
Karena
ekonomi global semakin terintegrasi,
pengelompokan regional negara bangsa telah meningkatkan kerjasama
dalam rangka memperkokoh otonomi, memperbaiki posisi tawar, dan memperjuangkan
kepentingan ekonomi politik lainnnya. Dimasa sekarang ini peran negara bangsa
justru dibutuhkan demi berlakunya perdagangan bebas seperti harapan neoliberal
. Hambatan-hambatan perdagangan tidak mungkin dihilangkan tanpa adanya dukungan
kebijakan yang pada gilirannya makin
menunjukkan peran negara bangsa makin diperlukan dalam perekonomian global.
11.2 LEMBAGA YANG
BERPERAN DALAM GLOBALISASI EKONOMI
Terdapat tiga lembaga utama yang mengatur globalisasi
yaitu IMF, World Bank dan WTO.
1. International
Monetary Fund (IMF)
Salah
satu lembaga yang sangat berpengaruh terhadap penciptaan sistem ekonomi pasar
bebas dunia sesuai agenda Neoliberalisme, yaitu IMF. Cikal bakal munculnya
lembaga super tersebut sewaktu diadakan pertemuan di Bretton Woods , New
Hampshire AS Juli 1944. Di bidang moneter dibentuklah International Monetary
Fund (IMF) dengan tugas utama mengatur system keuangan dan sistem nilai
tukar internasional.
Ide terbentuknya IMF terdiri atas ;
·
Untuk meningkatkan jumlah cadangan negara
yang memungkinkan negara tersebut mengatasi depresi tanpa melakukan kebijakan
deflasi, devaluasi, dan pembatasan import. Baik devaluasi maupun pembatasan
impor akan menimbulkan lingkaran setan yang akan membantu suatu negara yang
bersifat sementara namun memperburuk perekomian dalam jangka panjang.
·
Untuk memperbaiki posisi ketidakseimbangan
neraca pembayaran. Ide Keynes adalah untuk menciptakan mekanisme internasional
dengan memberikan cara yang baik untuk
memperbaiki ketidakseimbangan neraca pembayaran.
·
Hasil penelitian menunjukkan upaya negara
dalam menanggulangi ketidakseimbang neraca pembayaran adalah melakukan
devaluasi.
·
Keynes
melemparkan ide untuk mendirikan bank sentral yang memberikan kredit skala
dunia.
Maka sebagai reliasasi ide tersebut IMF didirikan tahun 1944 pada konferensi
internasional yang berlangsung di Bretton Wood Amerika Serikat dan mulai
beroperasi 1 Maret 1947. IMF didirikan sebagai pemberi pinjaman terakhir (Lender
of Last Resort) untuk pemerintah di berbagai penjuru dunia. IMF beroprasi
atas dasar kontribusi 182 negara anggota. AS merupakan kontributor terbesar sekitar 18 % dari keseluruhan.
Peran IMF sebagai lembaga yang mengatur ekonomi global
ditentukan oleh tiga asumsi sebagai berikut
:
1. IMF merupakan alat intervensi Departemen Keuangan AS
terhadap negara berkembang.
2. Banyak lembaga keuangan dunia yang ingin berhubungan dengan
IMF yang menjanjikan dana darurat sebagai imbalan menjalankan kebijakan ekonomi
yang dinilai baik.
3. Citra yang diciptakan seputar kekuatan institusional IMF yang seolah tidak pernah
salah. Negara pengutang yang berbeda
pandangan dengan IMF akan dinilai dunia internasional sebagai pembangkang.
IMF dituntut untuk dapat mencegah depresi global lainnya.
Yang dapat dilakukan dengan melakukan tekanan internasional pada negara yang
tidak melalukan peran mereka untuk memelihara permintaan agregat secara global,
dengan membiarkan perekonomian mereka
sendiri jatuh. IMF didirikan dengan keyakinan bahwa perlu ada tindakan kolektif
pada tingkat global agar tercipta stabilitas ekonomi.
Perubahan
peran yang dramatis dalam IMF terjadi
ketika tahun 1980-an, di era ketika
Ronald Reagan dan Margareth Thatcher menyuarakan ideologi pasar bebas di AS dan Inggris. IMF
dan Bank Dunia menjadi lembaga –lembaga misionaris baru, yang dengannya ide-ide
tersebut dipaksakan pada negara-negara miskin yang sering membutuhkan pinjaman
dan bantuan mereka.
Setengah
abad setelah pendiriannya, terbukti bahwa IMF gagal dalam menjalankan misinya.
IMF belum melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Diperkirakan hampir seratus
negara mengalami krisis, lebih buruk lagi kebanyakan kebijakan yang didorong
oleh IMF, khususnya leberalisasi pasar modal yang premature memberikan andil
dalam memunculkan ketidakstabilan global. (Stiglitz, 2002:19)
2. World Bank
Lembaga lain yang sangat berpengaruh terhadap penciptaan
sistem ekonomi pasar bebas dunia sesuai agenda Neoliberalisme, yaitu World Bank. Cikal bakal munculnya lembaga
super tersebut sewaktu diadakan pertemuan di Bretton Woods, New Hampshire AS
Juli 1944. Dari pertemuan tersebut dibentuklah sebuah lembaga yang khusus
menangani masalah dalam pembangunan ekonomi, yakni IBRD (International
Bank for Reconstruction and Development)
yang kemudian lebih dikenal sebagai World Bank.
Mulanya tujuan didirikan IBRD adalah untuk membiayai pembangunan kembali
ekonomi Eropa setelah Perang Dunia II, fungsi tersebut kemudian berkembang
menjadi lebih luas, tidak lagi terbatas pada upaya rekonstruksi akibat perang,
tetapi juga pembiayaan rehabilitasi akibat bencana alam, pendidikan, kesehatan,
infrastruktur serta rehabilitasi ekonomi
setelah masa konflik antar negara. Saat ini upaya Bank Dunia ini fokus pada
pengentasan kemiskinan global, terutama dalam rangka mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs)
pada tahun 2015.
3.
General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)
GATT merupakan salah satu intrumen dimana sistem ekonomi
dunia yang bersandar pada pasar bebas hendak dilakukan. Melalui GATT yang kemudian menjadi WTO,
secara sistematis dan intensif agenda negara-negara maju yang didominasi
gagasan neoliberal mendesakkan agenda leberalisasi dan perdagangan bebas.
GATT ini
bertolak dari pemikiran keunggulan komparatifnya David Ricardo, yang
beranggapan bahwa dengan perdagangan internasional yang bebas akan memberikan kemakmuran pada negara yang
melakukan spesialisasi diri pada produk tertentu dengan biaya yang lebih murah
dan kualitas lebih kompetitif.
Berdasar pemikiran di atas maka GATT dibentuk pada tahun
1948 dengan tiga prinsip utama. Prinsip pertama ialah most favoured nation
(MFN), yang berisi ketentuan bahwa suatu negara memberikan perlakuan yang istimewa kepada negara partner dagangnya dan hendaknya juga
memperlakukan hal yang sama istimewanya kepada negara lain yang melakukan transaksi perdagangan
dengan negara yang bersangkutan. Perlakuan ini harus tercermin pada tarif
impor, pajak ekspor, dan pungutan lainnya. Prinsip MFN bertujuan agar negara
yang melakukan transaksi perdagangan internasional lebih mengutamakan sistem multilateral yang kooperatif dari pada
pembentukan aliansi bilateral dalam perdagangan internasional.
Pinsip kedua adalah reciprocity. Penurunan tarif
atau penghapusan tarif hendaknya
dilakukan melalui perundingan dengan negara patner dagangnya. Sedang Prinsip
ketiga adalah non-discrimination, bahwa setiap impor telah masuk ke
pasar domestik suatu negara hendaklah
diperlakukan sama dengan barang domestik.
Pada kenyataannya, prinsip prinsip GATT di atas justru
banyak dilanggar sendiri oleh negara-negara maju dan yang menjadi korbannya
adalah negara-negara sedang berkembang. Dalam prakteknya terlihat jelas bahwa
GATT dibuat tidak lebih dari untuk kepentingan negara-negara maju, sehingga
tidak salah kalau GATT diberi julukan sebagai “The Richman’s Club” Maka
untuk mengatasi persoalan yang timbul akibat praktek GATT tersebut,
dilakukanlah Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang menghasilkan lembaga
baru yang bernama World Trade Organization (WTO). Lembaga ini sebenarnya
prinsip kerjanya tidak berbeda jauh dengan GATT namun memiliki kewenangan yang
lebih besar dan keputusannya bersifat mengikat negara anggotanya.
XI.3 TINGKATAN GLOBALISASI DAN SUDUT
PANDANG TERHADAP GLOBALISASI
1. Tingkatan Globalisasi
Menurut Susan dan Strange (Halwani, 2005:197)
globalisasi terjadi pada berbagai tingkatan.Pertama, dengan mengacu pada
gagasan sejarawan Perancis, Fernand Braudel, globalisasi terjadi pada tingkat material
life, yang dimaksud adalah terciptanya struktur produksi global yang
menentukan barang dan jasa apa yang dihasilkan oleh negara untuk kelangsun gan
dan kenikmatan hidup. Produksi barang dan jasa itu beroritentasi ke pasar
global dan tidak hanya terbatas pasar nasional saja.
Kedua,
globalisasi juga terjadi pada struktur keuangan, pembiayaan proses produksi
lewat kegiatan investasi kian
membutuhkan ruang yang bersifat global sehingga ada kecenderungan teritoral
state tidak lagi menjadi space yang relevan dan memadai bagi
strategi investasi. Selain itu ada ledakan pertumbuhan transaksi keuangan internasional. Salah satu indikator
dari globalisasi keuangan ini adalah
tingkat pertumbuhan yang jauh lebih cepat dari perdagangan uang asing setiap
harinya dibanding dengan total ekspor dunia. Lairson dan Skidmore (2000)
menunjukkan pada tahun 1986 rasionya adalah 25:1, tahun 1995 rasionya 81:1 maka
pada tahun telah menjadi 107 :1.
Ketiga,
globalisasi terjadi pada tingkatan persepsi, keyakinan, gagasan dan selera. Nilai-nilai
seperti demokratisasi, perlindungan HAM, pelestarian lingkungan hidup telah
menjadi isu-isu global. Salah satu contoh yang merepotkan negara sedang
berkembang dari segi penanganan HAM
adalah prinsip humanitarian
intervention yang dilakukan PBB atas nama dunia internasional,
dimana saja ada pelanggaran HAM berskala besar yang selalu dikaitkan dengan
embargo ekonomi. Sedangkan keputusan ini banyak dilakukan oleh negara-negara
besar di Dewan Keamanan PBB.
2. Sudut Pandang Terhadap Globalisasi
David
Held at.al,(1999) membagi pendapat para pakar dalam memandang dan menyikapi
globalisasi dalam tiga kelompok, yakni kelompok hiperglobalis, kelompok skeptis
dan kelompok transformationalis. Bagi kelompok hiperglobalis pengertian
globalisasi adalah sejarah baru kehidupan manusia dimana negara tradisional telah menjadi tidak relevan lagi,
lebih-lebih menjadi tidak mungkin dalam unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi
global. Kelompok ini percaya globalisasi
ekonomi membawa serta gejala “denasionalisasi” ekonomi melalui pendirian
jaringan jaringan produksi trasnasional
(transnasional networks) ,
perdagangan, dan keuangan. Dalam dunia yang “ borderless ” peran pemerintah tidak lebih
seperti transmission belts bagi kapital global. Lebih lanjut kelompok
ini percaya globalisasi ekonomi tengah membangun bentuk baru organisasi social
yang tengah menggantikan atau akhirnya akan menggantikan negara bangsa (nation
states) sebagai lembaga ekonomi utama dan unit politik dari masyarakat
dunia.
Kenichi Ohmae sebagai
pendukung hiperglobalis dalam buku The End
of nation State (1995) yang sering dijadikan manifesto hiperglobalis, berargumen bahwa setidaknya
ada empat faktor yang membuat peran negara bangsa di era “dunia tanpa batas
negara“ (a world without borders) makin menipis.Negara bangsa tidak lagi
memiliki sumber-sumber tanpa batas yang
dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mewujudkan ambisi mereka. Empat faktor tersebut oleh
Ohmae disebut sebagai empat I (investment, industry, information technology dan
individual). Investasi sebagai I yang pertama adalah pasar modal di negara
maju yang dibanjiri uang tunai untuk invesasi, karena peluang investasi tidak
selalu ada maka pasar modal
mengembangkan berbagai mekanisme uintuk mentranfer dana keuangan itu melintasi
batas-batas nasional. Dengan kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan aliran
dana ini menyebar dengan cepat keseluruh penjuru dunia. Namun investasi ini
juga menimbulkan dampak buruk bagi
negara bangsa yang struktur ekonomi dan keuangannya rapuh. Kasus Asia Timur,
dan Asia Tenggara adalah contoh yang jelas akibat globalisasi keuangan ini.
Industri yang merupakan I
ke dua, adalah industri yang mempunyai orientasi global dibanding sepuluh tahun
lalu. Strategi perusahaan TNC dan MNC tidak lagi dikendalikan oleh alasan
negara namun lebih pada keinginan dan
kebutuhan melayani dan mencari sumber-sumber ekonomi di seluruh dunia.
Pergerakan investasi dan
industri keseluruh dunia tidak lepas berkat kemajuan I yang ketiga yaitu information
technology. Juga ditambah dengan makin murahnya tranportasi menyebabkan
perusahaan transnasional dan aliran
modal global makin gampang bergerak ke
seluruh dunia. Teknologi informasi pulalah yang menyebabkan integrasi, interdependensi dan interlink semua aspek kehidupan baik itu budaya,
ekonomi dan politik sehingga terciptalah
globalisasi budaya, globalisasi ekonomi dan globalisasi politik.
Individual sebagai I keempat, menunjukkan individu di
seluruh dunia makin berorientasi global. Teknologi informasi memungkinkan
individu melihat, membeli dan berperilaku seperti dilakukan dibelahan dunia
lain. Hal ini terutama terlihat pada gaya hidup yang banyak meniru perilaku
individu di negara maju. Konsumen makin menginginkan produk berkualitas, murah
tanpa menghiraukan darimana produk tersebut berasal. Fenomena ini dikenal sebagai international
demonstration effect.
Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini
disebut sebagai kelompok skeptis terhadap globalisasi. Hirst dan Thompson
sebagai pendukung kelompok skeptis, menyerang tesis hiperglobalis yang
menganggap remeh peran kekuasaan pemerintahan nasional dalam mengatur kegiatan ekonomi internasional. Bahkan Hirst
dan Thompson menganggap globalisasi
adalah mitos belaka. Kelompok skeptis ini berpendapat bahwa kekuatan global itu
sendiri sangat tergantung pada kekuasaan
mengatur pemerintahan nasional untuk menjamin liberalisasi ekonomi terus
berlanjut. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa sebenarnya proses globalisasi
hanya berlangsung di Jepang, Amerika Serikat dan Eropa. Sedangkan kekuatan regionalisme menjadi satu ciri yang
menunjukkan peran negara bangsa.
Kelompok ketiga ini
terletak diantara pandangan ekstrim hiperglobalis dan skeptis, kelompok ini
dikenal dengan nama transformasionalis. Kelompok ini berkeyakinan bahwa pada
permulaan milineum baru, globalisasi
adalah kekuatan utama dibalik perubahan
sosial, ekonomi dan politik yang tengah menentukan kembali masyarakat
masyarakat modern dan tantanan dunia (world order). Penganut kelompok
ini meyakini proses globalisasi yang tengah berlangsung saat ini secara
historis belum pernah terjadi sebelumnya dimana tak lama lagi perbedaan
antara internasional dan domestik,
hubungan internal dan eksternal tidak lagi menjadi jelas. Meskipun mereka juga
mengakui bahwa proses globalisasi mempunyai akar sejarah yang panjang.
Mengenai peran negara
bangsa, kelompok tranformasionalis berpendapat bahwa globalisasi yang tengah berlangsung saat ini
sedang mengatur kembali kekuasaan, fungsi dan otoritas pemerintahan nasional. Peran
negara harus disejajarkan dalam berbagai
tingkat dengan perluasan yurisdiksi lembaga pengaturan internasional sebagai
mana kewajiban yang berasal dari hukum internasional. Artinya peran negara
bangsa sejajar dengan lembaga internasional dan perusahaaan transnasional.
David Held dalam buku Global
Tranformation (2000) sebagai kelompok tranformatif ini menyatakan bahwa
globalisasi masa lampau dengan sekarang berbeda jauh karena tiga hal yaitu ; velocity,
intensity dan extensity. Karena tiga hal tersebut globalisasi sekarang
menimbulkan dampak dahsyat dibanding
globalisasi sebelumnya. Namun bukan berarti telah melabrak segala sesuatunya
hingga hilang, budaya lokal dan negara bangsa (nation state) tetap ada.
XI.4 MODEL-MODEL DALAM SISTEM EKONOMI GLOBAL
Terlepas
dari suka atau tidak suka, proses globalisasi meskipun belum jelas tipe
idealnya terus terlanjut karena kekuatan-keuatan internal (pasar, informasi,
teknologi dan kontrol) Namun untuk kepentingan ilmu ekonomi dan ilmu
pengetahuan pada umumnya bentuk masa depan sistem ekonomi internasional atau
system ekonomi global tetap penting untuk dipetakan. Hirst dan Thompson (1996)
mengajukan dua model ideal, yaitu : 1) ekonomi internasional yang terbuka (an
open international economy) dan 2) ekonomi global purna ( a fully
globalized economy)
Model I: Ekonomi internasional
Model pertama ini merupakan system ekonomi yang masih
bercirikan ekonomi nasional masing-masing negara. Hubungan perdagangan dan
investasi antar bangsa tidak serta merta menhilangkan identitas sistem ekonomi nasional, tapi lebih merupakan
dinamika hubungan keluar (outward
looking) dari masing-masing pelaku. Meskipun demikian, hubungan intensif
dalam uda bidang tersebut terus membawa pelaku-pelaku ekonomi nasional
berintegrasi ke pasar internasional. Pemisahan
identitas dan kebijakan pada dua level (nasional dan internasional)
masih tetap terlihat dengan jelas.
Model
ekonomi internasional seperti ini mencirikan saling ketergantungan antar bangsa,
tetapi tetap terpisah antara entitas ekonomi
nasional dengan aspek internasionalnya. Kejadian kejadian pada tingkat
internasional tidak otomatis mempengaruhi ekonomi domestik, tetapi justru
diserap dengan berbagai proses khas dari ekonomi nasional itu sendiri. Dengan
demikian kebijakan pada tingkat nasional masih mempunyai kekuatan terhadap sisi dan elemen kehidupan
masyarakat.
Tipe seperti ini mirip seperti ekonomi Inggris dan Eropa
abad pertengahan sampai 1914. Ekonomi
Inggris menjadi pusat hegemoni dan penjamin berlangsungnya sistem itu. Tetapi
setelah PD II, kekuatan hegemoni Inggris mulai surut karena melemahnya sistem
industri negara itu – inilah yang kemudian menghasilkan kebangkitan
proteksionisme, terutama setelah 1930 an, sekaligus menandakan datangnya
hegemoni baru, yakni Amerika Serikat dengan berlakunya Bretton Wood.
Sistem
ekonomi internasional juga ditandai oleh bangkitnya perusahaan multinasional
(MNC, Multi National Corporation). Meskipun demikian MNC masih bias
diidentifikasikan basis negaranya dan tetap mengikuti tata aturan dan
kebijakan nasional masing-masing. Ekonomi
internasional sekarang memang diarahkan lebih terbuka, diikuti oleh kebangkitan
lembaga-lembaga seperti WTO/GATT, APEC dan lain sebagainya. Lembaga ini dibuat
untuk menjaga keterbukaan ekonomi negara anggotanya meskipun pada kenyataannya negara maju lebih banyak diuntungkan. Sistem ekonomi
internasional semakin intensif berinteraksi satu sama lain pada akhir abad
ke-20 ketika revolusi teknologi komunikasi dan informasi muncul.
Model II : Ekonomi Global (globalized economy)
Model
kedua ini pada dasarnya merupakan kebalikan dari model pertama dimana ekonomi
internasional hanya merupakan bagian integral dari segenap proses, transaksi
dan perkembangan global. Ekonomi global tercipta dan saling berinteraksinya
ekonomi nasional mengarah ke bentuk kekuatan baru. Dengan demikian kebijakan
pada tingkat nasional maupun kebijakan bisnis pada tingkat perusahaan tidak lain
sebagai perwujudan dan penyatuan
kekuatan-kekuatan pasar global. Kebijakan, kegiatan dan interaksi pada tingkat
nasional diintegrasikan ketingkat
global.
Meskipun
demikian kegiatan dan sistem ekonomi yang mengglobal membawa persoalan :
“Bagaimana dengan institusi pemerintah
pada tingkat yang sama (internasional), yang menyertai institusi pasar global ?” Masalah ini merupakan isu
krusial karena tanpa mekanisme pemerintahan, institusi pasar akan berkembang
pada tatanan yang amat riskan, tidak adil, mendekati hukum rimba dan tidak akan
mampu mengakomodasikan nilai moral dan etika.
Institusi
pasar pada tingkat nasional terlepas apakah terinteraksi dengan negara lain
atau tidak) senantiasa berkembang berdampingan dengan institusi negara atau pemerintahan (state institution
governance). Dalam kenyataannya, tidak mungkin institusi pasar berkembang
tanpa pengaturan yang dikeluarkan oleh
negara. Institusi pasar tidak bias dibiarkan berjalan sendiri tanpa basis
institusi negara.
Institusi
negara, sistem, praktek dan para pelaku di dalamnya, berperan menjaga
keseimbangn mekanisme pasar sehingga berperan positif bagi pelaku-pelakunya,
bersifat adil, dan berfungsi sebagai penyangga bagai berlangsungnya sistem ekonomi
yang sehat. Secara teoritis, mekanisme pasar berjalan sinambung, sehat dan adil dalam panduan
institusi negara. Jika terdapat
kecenderungan penguasaan pasar,
blokade, integrasi vertikal-horizontal, monopoli, kartel dan berbagai bentuk
penyimpangan lainnya maka tugas institusi negaralah yang meluruskannya agar
tercipta pemerataan kekayaan dan partisipasi pelakunya, redistribusi,
stabilisasi ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun dalam model ekonomi
global, institusi negara dalam bentuk governance pada tingkat
internasional tidak bisa hadir dengan sendirinya tanpa konsensus kolektif negara anggotanya. Institusi pada
tingkat inilah yang tidak berkembang dengan baik, terbukti dengan krisis yang
terjadi sejak tahun 1930an (depresi), tahun 1970-an (krisis minyak), sampai
akhir 1990-an (krisis mata uang di Asia), menunjukkan berperannya institusi governance pada
tingkat internasional.
XI.5 DAMPAK
EKONOMI GLOBAL.
William Greider dalam bukunya One World, Ready or Not,
The Maniac Global Capitalism (1998) melontarkan tesisnya bahwa motor
dibalik globalisisme adalah ” kapitalisme global ”. Sesuai dengan watak dari kapitalisme yang rakus dan tidak pernah
puas, mereka beramai-ramai menguras kekayaan dunia, masuk ke kantong mereka
dnegan memanfaatkan teknologi komputer, mengabaikan kesantunan hidup bersama.Memang kapitalisme global telah memberikan
kenyamanan dan kemudahan namun hanya dinikmati 10 % penduduk dunia. Sementara
jurang antara kaya dan miskin (istilah baru, digital devide) menjadi kian
menganga. Kapitalis global ini terdiri atas spekulan uang yang jumlahnya tidak
lebih dari 200.000 orang (termasuk George Soros yang paling terkenal) dan
53.000 MNC yang hanya memperkerjakan 6.000.000 orang di seluruh dunia.Juga
institusi seperti IMF, World Bank, WTO. Lembaga-tersebut telah secara langsung
maupun tidak langsung membantu liberalisasi ekonomi keseluruh dunia, dimana
tahun 1970 an pasar dunia masih merupakan pasar tertutup. (Halwani,2005:201)
Dampak utama yang muncul akibal globalisasi ekonomi
adalah bagaimana mengatur ekonomi global
itu. Pasar global yang terlepas dari
konteks sosialnya sulit sekali diatur sekalipun
taruhlah ada kerja sama yang efektif antara pihak yang berwenang mengatur
ekonomi dan kepentingan mereka sejalan. Kesulitan utama adalah bagaimana menyusun
pola kebijakan nasonal dan internasional yang efektif dan terintegrasi guna
menghadapi kekuatan-kekuatan pasar global. Ketergantungan sistematik
antara negara dan pasar sama sekali
tidak harus berarti akan tercipta secara
otomatis integrasi harmonis yang memberikan
manfaat pada konsumen dunia, karena pasar global benar-benar bebas dan efisien
dalam membagikan sumber dan daya produksinya.
Dampak utama kedua adalah pelaku ekonomi yang banyak
berperan dalam model ekonomi global ini adalah perusahaan besar MNC (multi
national corporation) dan akan
berubah menjadi TNC (trans national corporation). TNC bercirikan murni
modal yang bebas mengalir kemana saja (footloose investment) juga
industri yang gampang pindah lokasi (footloose industry) tanpa kedudukan
nasional, dengan pengelolaan manajemen internasional, dan bersedia beroperasi
dimana saja untuk mencari laba sebesar-besarnya. Di sektor keuangan hal ini dapat dicapai dengan mudah, cukup
dengan menekan tombol komputer maka lalu
lintas modal akan berpindah ke belahan dunia manapun tanpa terpengaruh campur
tangan kebijakan moneter nasional sedikitpun.
Dalam perusahaan yang bergerak di sektor industri primer, TNC akan mencari sumber daya alam,
memproduksi dan memasarkan barang di
tingkat dunia sejauh strategi dan peluang
menguntungkannya. TNC tidak lagi berbasis di satu negara saja (seperti
halnya MNC) akan tetapi melayani seluruh penjuru dunia. TNC juga tidak dapat
dihambat dan dikendalikan oleh kebijakan negara manapun kecuali oleh
kepentingannya sendiri (maksimalisasi laba). TNC memang merupakan wujud ekonomi
global murni.
Namun
demikian, bila kita melihat fenomena perilaku perusahaan Jepang yang enggan
menempatkan fungsi penelitian dan pengembangan atau proses produksi suku cadang
bernilai tinggi di pabrik cabang di negara asing, maka kecenderungan dalam masa
depan yang tidak terlalu jauh, yang terlihat adalah perusahaan nasional dengan
operasi internasional (MNC) ketimbang TNC.
Dampak ketiga adalah melemahnya posisi tawar politik dan
ekonomi serikat buruh. Pasar global dan TNC
cenderung disertai pasar tenaga kerja dunia yang terbuka pula. Namun
operasi pasar tenaga kerja dunia bukan dalam bentuk lalu lintas tenaga kerjadari
satu negara ke negara lain, tetapi dalam bentuk arus modal yang bergerak
memilih lokasi-lokasi yangh terbaik dari sisi upah buruh dan pasokan tenaga
kerja.
Kecenderungan modal bergerak dengan bebas dari satu
negara ke negara lain (footloose investment), sementara angkatan kerja
tetap berada di negara masing-masing, akan menguntungkan negara maju yang memiliki angkatan kerja paling siap meskipun biaya overhead dan jaminan
sosial tinggi dilihat dari kompetensi keterampilan dan motivasi kerja.
Dampak globalisasi yang
terakhir dan tidak dapat terelakan
adalah bahwa dalam sistem politik internasional muncul pusat-pusat kekuatan baru. Negara yang selama
ini memegang kekuasaan hegemoni di dunia
tidak dapat lagi memaksakan tujuan kebijakannya sendiri, baik di dalam
wilayahnya maupun di tempat lain,sementara lembaga lain (swasta maupun
pemerintah) yang selama ini lemah
sekarang akan lebih kuat.
Berbagai lembaga, dari
lembaga sukarela internasional hingga perusahaan TNC, menikmati kekuasaan yang
lebih besar sementara wibawa pemerintah
nasional makin turun. Lembaga-lembaga ini
dengan menggunakan pasar global dan media global, memperoleh legitimasi dari konsumen dan warga lintas batas.
1. Janji janji Globalisasi
Dampak positif
yang dijanjikan globalisasi
sangat banyak (Deliarnov, 2006 : 203). Selain menjanjikan memperlancar arus tranportasi dan
informnasi; memberikan akses dan alih
pengetahuan; memperpanjang usia harapan hidup; melayani masyarakat lebih baik lagi;
meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan ekspor; membuat harga lebih
murah; meningkatkan standard hidup; mengurangi kemiskinan; mengurangi
ekploitasi terhadap tenaga kerja wanita
dan anak-anak. Selain daftar kehebatan di atas, globalisasi juga dipandang
sebagai salah satu pendorong lahirnya
lembaga atau badan yang memberikan banyak bantuan modal (World Bank dan
IMF), lembaga yang merupakan wadah pasar bebas (WTO), institusi
intergovernmental untuk bantuan perdamaian (PBB); perburuhan (ILO); pendidikan
(UNICEF); kesehatan (WHO) dan juga lembaga bantuan sosialm (Palang Merah
Internasional)
Benarkah janji-janji
tersebut ? Bagi sebagian negara sedang berkembang janji-janji di atas tidak
lain adalah mitos belaka. Hal ini terlihat dengan fakta sebagai berikut.
IMF dan World Bank selalu berusaha meyakinkan bahwa liberalisasi dan globalisasi akan memicu pertumbuhan.
Padahal belum ada teori maupun bukti
bahwa liberalisasi pasar betul-betul
dapat memacu pertumbuhan (Stiglitz,2001) Pasar bebas justru membuat
pasar domestik tidak efisien jika ada pihak-pihak melakukan monopoli. Masuknya
produk asing justru mendesak dan mematikan produk dalam negeri sehingga
bukannya pertumbuhan yang timbul tapi justru penggangguran terutama di sektor
industri dan pertanian.
Bahwa globalisasi akan
membantu negara-negara sedang berkembang
meningkatkatkan ekspor dan menyediakan barang dan jasa dengan harga murah. Hal ini juga cuma janji kosong, karena
pada kenyataannya negara sedang berkembang justru berhadapan dengan produk dari
negara maju yang lebih berkualitas dan harga yang lebih murah. Sedangkan produk negara sedang berkembang sulit masuk ke
pasar negara maju karena dihambat dengan berbagai cara.
Globalisasi
akan menciptakan lapangan kerja. Hal ini memang tujuan utama didirikannya IMF ;
Bank Dunia GATT seperti disarankan oleh JM Keynes, yakni untuk mengatasi
kegagalan pasar dan mendorong peran pemerintah dalam menciptakan lapangan
kerja. Fakta di lapangan ternyata berbicara lain, justru munculnya TNCs di
negara berkembang menimbulkan pengangguran karena biasanya bisnisnya bersifat capital
intensive dan high technology. Menurut Susan George, 200 TNCs
terbesar menguasai 25 % kekayaan dunia, tapi tidak banyak menyerap tenaga
kerja. Sedangkan 6000 TNCs yang menguasai sepertiga perdagangan dunia hanya mampu menyerap kurang
dari 1 % tenaga kerja dunia.
Globalisasi
juga dikatakan akan mengurangi eksploitasi terhadap tenaga kerja perempuan dan
anak-anak. Dalam prakteknya malah menunjukkan
telah terjadi “feminisasi” tenaga kerja, yakni dominannya tenaga kerja
perempuan disektor industri dengan upah yang rendah. Bahkan sebagian migran
perempuan dari desa-desa itu terjebak trafficking (perdagangan perempuan
antar negara).
2. Dampak Globalisasi Ekonomi Terhadap Indonesia.
Sejak tahun
1993, OECD sudah memberi sinyal Indonesia akan dirugikan dengan berlakunya
liberalisasi perdagangan internasional. Akan tetapi Soeharto sebagai penguasa
Orde Baru yakin sekali dengan prakarsa perdagangan bebas. Akhirnya yang terjadi
adalah ramalan OECD tersebut terbukti, yakni Indonesia justru menghadapi
persaingan baru dari negara-negara maju yang mampu menghasilkan produk dengan
kualitas baik dan harga bersaing, sedang produk Indonesia sulit masuk ke pasar
negara maju karena dihambat dengan pencabutan fasilitas kemudahan ekspor yang
bernama Generalized System of Preference. GSP ini merupakan fasilitas
yang diberikan oleh Departemen Perdagangan AS kepada sejumlah negara untuk
mengurangi dan menghilangkan pajak impor bagi negara yang dianggap berdagang secara
“sehat“ dengan AS.
Sejak
peristiwa WTC 11 September 2001, AS khususnya melakukan proteksi yang dikemas
dengan istilah undang-undang bio-terrorism, iso-labeling, eco-labeling,
ditambah embargo ekonomi dan sangsi ekonomi. Peristiwa Santa Cruz di Timor
Timur (waktu itu) membuat Indonesia diembargo dalam pengadaan alat militer dan
juga perdagangan ekspor Indonesia ke AS.
Tekanan paling keras dilakukan AS terhadap negara industri baru di Asia
Timur termasuk Indonesia. Hal ini dilakukan oleh AS guna menyeimbangkan neraca
perdagangan As yang merosot pada beberapa tahun terakhir ini. Hal ini tentu
berdampak pada perekonomian nasional karena masuknya produk asing, embargo, dan
proteksi negara tujuan ekspor khususnya AS menjadikan daya saing produk domestik
lemah dan munculnya efek domino karena tutupnya sejumlah industri, yaitu PHK
dan pengangguran.
Perluasan
ekspor Indonesia terasa makin berat sejak dicabutnya GSP tahun 2005 belum lagi
halangan masuk (entry barrier) yang sengaja diciptakan oleh negara maju.
Sehingga ekspor tekstil Indonesia tidak memiliki kuota untuk masuk pasar AS.
Didalam negeri gempuran produk China terus-menerus terjadi, sehingga beberapa
industri domestik rontok dan merumahkan karyawannya.
Globalisasi bukan hanya menggempur pelaku ekonomi di
negara sedang berkembang. Globalisasi mampu mengendalikan demokrasi bahkan
bertindak lebih jauh dengan mendikte apa
yang harus dilakukan pemenang pemilu yang diselenggarakan secara demokratis
sekalipun. Rakyat memang menentukan
siapa yang menang dalam pemilihan umum. Namun siapa yang akan duduk di kabinet
bisa ditentukan oleh konstituen pasar
yang berada di sentra finansial global.
Hal di
atas bisa terlihat jelas waktu Presiden Soeharto kembali menduduki kursi
kepresidenan tahun 1996, Presiden AS Bill Clinton mengutus Walter Mondale datang
ke Indonesia membujuk Soeharto agar sepenuhnya melakukan liberalisasi ekonomi
sesuai resep dari IMF. Mondale menunjukkan jika Soeharto mengisi kabinetnya
dengan menteri yang anti globalisasi maka pasar akan merespon negatif.
Di pasar
global Indonesia tidak menghadapi persaingan biasa yang hanya menggantungkan
diri pada mekanisme pasar, tetapi Indonesia menghadapi kekuatan yang terpola.
Kekuatan ini bisa berbentuk TNCs, MNCs, pemerintahan negara kaya, lembaga dunia
seperti IMF, Word Bank dan WTO. Indonesia saat ini berada dalam jebakan “perang
modern” yang dimulai dari krisis moneter 1997/1998. (Deliarnov, 2006).
XI.6 PERAN BANK
DUNIA DAN IMF DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA.
1. Peranan World Bank Dalam Perekonomian Indonesia
Selama rentang waktu tiga puluh tahun (tahun 1967-1998) dukungan pendanaan yang
telah diberikan oleh Bank Dunia mencapai lebih dari US$ 25 miliar. Porsi
terbesar dari pembiayaan tersebut disedot oleh pembangunan infrastruktur yakni
sebesar 40 %.Sektor pertanian mencapai porsi 19 %, sektor pembangunan perkotaan
, air bersih dan sanitasi pencapai 10 %.(Subiyanto dan Riphat, editor, 2004 :
351)
Pada Dekade 1980-an, Bank
Dunia mengawali program bantuan untuk
merestrukturisasi sektor keuangan,
sejalan upaya pemerintah melakukan deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983.
Sedangkan selama kurun waktu 1990 - 1998 perhatian Bank Dunia tersedot pada masalah lingkungan hidup. Prasyarat
lingkungan hidup dijadikan prasyarat dalam memberikan pinjaman pada Indonesia.
Misalnya pinjaman pada sektor pertanian dikaitkan dengan penghutanan kembali (reforestration)
yang memang sangat penting untuk dilakukan. Bahkan munculnya UU Lingkungan
Hidup dan terbentuknya Bapedal juga tidak lepas dari dukungan Bank Dunia.
Perkembangan perekonomian
Indonesia sejak Pelaita 1 sampai dengan Pelita VI sangat mengagumkan
sehingga Indonesia dianggap sebagai salah salah satu “Asian Miracle”.
Stabilitas ekonomi terjaga memungkinkan investor melakukan ekspansi. Bank Dunia
terus menindak lanjuti pembiayaan bagi
sektor keuangan (tahun fiskal 1993) yang
bertujuan untuk memacu liberalisasi sektor keuangan Namun upaya ini gagal karena tidak mencapai
hasil yang diharapkan dan membuahkan hasil krisis moneter pada tahun 1997.
Tabel XI.1.
Alokasi Pinjaman
Bank Dunia
perSektor (tahun
1969-1998)
Sektor
|
US$ juta
1969-98
|
%
1969-98
|
%
1969-79
|
%
1980-90
|
%
1990-98
|
Infrastruktur(migas,
telkom, transport)
|
10,196
|
40.2
|
36.9
|
34.3
|
46.9
|
Pertanian
Pendidikan,kesehatan,kependu
dukan,gizi
|
4,880
3.301
|
19.2
13.0
|
34.8
7.3
|
24.7
11.6
|
9.5
16.0
|
Perkotaan,
sanitasi &air bersih
Keuangan
|
2,624
1,818
|
10.4
7.2
|
6.1
6.6
|
6.6
10.4
|
15.1
4.2
|
Penyesuaian
Lain-lain
|
1,200
1,351
|
4.7
5.3
|
-
8.3
|
8.7
3.7
|
2.2
6.1
|
Total
|
25,370
|
100.0
|
100.0
|
100.0
|
100.0
|
Sumber :
Hutagalung,2004:353
Periode 200-2003 program Bank Dunia terfokus pada
penurunan tingkat kemiskinan dengan pendekatan sentralisasi. Tiga tujuan
utamanya adalah :1) melanjutkan pemulihan ekonomi; 2) menciptakan pemerintahan
yang bertanggung jawab dan tranparan serta 3) menyediakan pelayanan umum yang lebih baik terutama bagi kelompok
miskin.
Pada tahun 2003 pemerintah Indonesia memutuskan
untuk tidak melanjutkan kerjasama dengan
IMF serta menyusun paket Kebijakan Ekonomi Pasca Program IMF yang dikenal dengan “ white
paper” untuk membuktikan upaya serius melanjutkan reformasi ekonomi mandiri
kendali monitoring pada tangan pemerintah Indonesia. Persoalan ini
terkendala dengan masih kuatnya KKN sehingga Bank Dunia menjadikan isu
tranparansi dan akuntabilitas menjadi elemen
dalam setiap proyeknya.
2. Peranan IMF dalam Stabilitas Perekonomian Indonesia
Pada tahun 1967 Indonesia kembali kerjasama dengan IMF
dengan kuota SDR 2 milyar. Sebelumnya
juga pernah memberikan pinjaman pada Orde Lama sejumlah US$ 102 juta. Selama
tiga dasawarsa dukungan IMF berupa
penyediaan fasilitas Stand by Credit (jangka menengah) agar
cadangan devisa di BI cukup guna menjaga nilai rupiah. Peran IMF menjadi sangat
penting pada saat krisis moneter, yaitu
pada saat terjadi kesepakatan antara IMF dengan Indonesia , yaitu berupa Letter
of Intent (LOI).
Dengan adanya jaminan IMF
serta komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi di berbagai bidang seperti
dituangkan dalam LOI, maka skema penjadwalan kembali hutang luar negeri yang jatuh tempo dapat
dilakukan melalui skema Paris Club (hutang pemerintah) maupun London Club
(hutang pemerintah/BI kepada swasta)
Sejumlah US$ 15 miliar pinjaman pokok
telah dijadwalkan kembagli pembayarannya melalui Paris Club (US$ 4,2 miliar),
Paris Club II (US$ 5,4 miliar) dan Paris Club III(US$ 5,4 miliar). Dengan penjadwalan
ini maka tekanan dan beban APBN berkurang.
Secara umum program yang
disarankan IMF untuk mengembalikan stabilitas makro-ekonomi dan kepercayaan
pasar dapat dibagi menjadi tiga hal, yaitu :
-
terwujudnya
kerangka makro ekonomi yang kuat
- strategi komprehensif untuk
melakukan restrukturisasi sector keuangan
- kebijakan struktural secara umum (termasuk good governance)
Kebijakan makro ekonomi secara umum
mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini ditunjukkan dengan
membaiknya nilai tukar Rupiah pada Oktober 1998 dan tingkat bunga perbankan
mulai menurun. Namun di satu sisi perekonomian mengalami pertumbuhan minus 13 %
dan inflasi yang cukup tinggi.
Pada bulan Januari 2000 IMF kembali
menyetujui US$ 5 miliar extended fund arrangement (EEF) untuk tiga tahun
kedepan dalam rangka mendukung program reformasi ekonomi dan struktural.
Programnya adalah untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, menurunkan inflasi, mengurangi hutang hutang publik,
mengembangkan pasar modal, reformasi perpajakan, mengurangi subsidi secara
bertahap, desentralisasi fiskal, melanjutkan restrukturisasi perbankan dan
korporasi, privatisasi dan reformasi diberbagai sektor, serta peningkatan kapasitas kelembagaan dan good governance.
Kemajuan yang cukup strategis dalam
penangangan masalah fundamental yang terjadi sejak krisis 1997, mulai berhasil
diatasi. Namun sayangnya kemajuan yang berarti tersebut tidak memicu kemajuan
di sektor riil. Untuk menggerakkan sektor riil dan memperluas kesempatan kerja
diperlukan investasi baru. Ketergantungan Indonesia terhadap IMF memang cukup
besar namun hal tersebut dilakukan dalam rangka memulihkan dan menggerakkan
perekonomian Indonesia. Namun sejalan dengan amanat MPR untuk segera
mengakhiri program IMF, pemerintah telah
mengeluarkan serangkaian paket kebijakan
menjelang dan sesudah berakhirnya program kerja sama dengan IMF yang ditetapkan
dengan Inpres No. 5 Tahun 2003.
Dalam rangka mengakhiri kerjasama
dengan IMF maka pemerintah telah menyiapkan program pemulihan ekonomi yang
pelaksanaanya dilakukan sendiri oleh
pemerintah serta memonitor hasilnya. Peran IMF tetap ada dan dituangkan
dalam Post Program Monitoring (PPM)
yang merupakan proses konsultsi sebagai terjadi pada negara yang baru saja
mengakhiri program dengan IMF.
Setelah tidak lagi kerjasama dengan
IMF dan dalam rangka melanjutkan reformasi untuk mendayagunakan kemampuan
sumber daya ekonomi dalam negeri dan meningkatkan daya tahan ekonomi secara
bekelanjutan. Pemerintah Indonesia mengeluarkan paket kebijakan pada
tahun 2003 dan 2004 yang berisi tiga sasaran pokok, yaitu :
1. Memelihara dan memantapkan stabilitas ekonomi makro;
2. Melanjutkan restrukturisasi dan
reformasi sektor keuangan;
3. Meningkatkan
investasi , ekspor dan penciptaan kesempatan kerja.
Langganan:
Postingan (Atom)